7 Kisah Pilu Teknologi Sepanjang Tahun 2018
7 Kisah Pilu Teknologi Sepanjang Tahun 2018
Bagaimana manusia bisa hidup tanpa teknologi. Dengan bantuan teknologi, segalanya kini jadi mudah dan kehidupan manusia makin baik.
Namun tak semua inovasi dan teknologi adalah hal yang baik. Teknologi yang revolusioner pun, terkadang habis masanya terlekang waktu. Belum lagi deretan teknologi yang memang baik, namun kalah saing dan kalah dari sisi pemasaran. Jadi, dunia teknologi pun tak lepas dari berbagai kisah pilu.
-
Bagaimana cara Facebook, Meta, dan Instagram mendapatkan informasi tentang minat pengguna? Untuk mengetahui minat pengguna, biasanya Meta dan Google menelusuri dari jenis konten yang biasa dikonsumsi, merk barang tertentu yang biasa dibeli, dan topik apa yang diminati. Kedua raksasa teknologi ini juga memiliki keahlian dalam membuat koneksi antar titik.
-
Di mana Mark Zuckerberg dan timnya membuat Facebook? Mereka merintis proyek ini dari sebuah kamar kos di Harvard pada tahun 2004.
-
Siapa yang menciptakan Facebook? Sejarah 4 Februari Hari Ulang tahun Facebook, yaitu dimulai Mark Zuckerberg ingin membuat platform chat. Bersama teman-temannya, Andrew McCollum, Eduardo Saverin, Chris Hughes, dan Dustin Moskovitz, Zuckerberg mengembangkan Facebook saat mereka masih kuliah di Universitas Harvard.
-
Siapa saja yang membuat Facebook? Facebook adalah platform media sosial online asal Amerika dan layanan jejaring sosial yang merupakan bagian dari perusahaan Meta Platforms. Facebook didirikan pada tahun 2004 oleh Mark Zuckerberg, Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes. Keempatnya adalah mahasiswa di Harvard University.
-
Apa yang ingin dicapai Mark Zuckerberg dengan Llama 3 dan Meta AI? “Dengan model baru ini, kami percaya bahwa saat ini Meta AI adalah asisten AI paling pintar yang bisa anda gunakan secara bebas,” ucap Zuckerbeg dalam unggahan di akun Instagramnya.
-
Apa saja yang dicakup dalam "kompensasi lain" Mark Zuckerberg? Tahun lalu, Meta mengatakan bahwa dana keamanan tersebut bisa digunakan Zuckerberg untuk membayar “personel tambahan, peralatan, layanan, perbaikan tempat tinggal,” dan kebutuhan keamanan lainnya. Di luar dana keamanan, Zuckerberg bisa menggunakan “kompensasi lain” yang ia punya untuk “biaya yang berkaitan dengan penggunaan pesawat pribadi.”
Mulai dari kebocoran data Facebook dan tutupnya Path, berikut deretan kisah pilu di dunia teknologi sepanjang tahun 2018.
Path Tutup
Setelah memutuskan untuk memberhentikan layanannya pada 17 September silam, akhirnya satu bulan berikutnya di 18 Oktober, Path resmi tutup.
Path lahir pada November 2010 dan dibesut oleh Shawn Fanning dan juga Dave Morin yang merupakan mantan petinggi Facebook. Di tahun awal semenjak Path hidup, jejaring sosial ini cukup meroket. Berdasar data dari Tech Crunch, di bulan Desember 2011, pengguna Path melonjak dari 30 ribu pengguna ke 300 ribu pengguna dalam waktu kurang dari satu bulan.
Awalnya, layanan Path berupa platform berbagi foto ke 50 orang teman. Hal ini menjadikan Path sebenarnya adalah jejaring sosial yang menjunjung privasi dan teman dekat. Namun seiring waktu, Path menaikkan angka pertemanan jadi 150 orang, lalu 500 orang, hingga tak terbatas. Hal ini membuat Path tak lagi jadi jejaring sosial yang mengakomodir teman dekat.
Di 2014, Bakrie Group dan deretan venture yang digandengnya merupakan salah satu penyuntik dana di Path dengan angka 25 juta Dollar. Indonesia sendiri memang merupakan negara dengan pengguna Path terbanyak, yakni 4 juta pengguna. Namun di 2015, Path sudah diakuisisi oleh Daum-Kakao, yang merupakan raksasa teknologi Korea Selatan.
Yahoo! Messenger Berhenti Beroperasi
Yahoo! Messenger sudah sangat lama berjasa jadi platform messaging yang memudahkan berkirim pesan. Sebelum kenal BBM, LINE, iMessage, ataupun WhatsApp yang kini terpopuler, sebagian besar dari kita menggunakan Yahoo! Messenger di desktop maupun smartphone.
Namun ketika Yahoo! diakuisisi oleh Verizon, diputuskan mulai 17 Juli lalu kalau YM harus berhenti beroperasi. Yahoo! sendiri disebut sedang fokus untuk mengembangkan layanan baru yang masih berkaitan dengan platform komunikasi seperti messaging. Kita tunggu saja.
Berhenti Dijualnya iPhone SE, iPhone 6s, dan iPhone X
Era smartphone mungil akhirnya makin menemui ujungnya, ketika Apple mengkonirmasi diskontinyuitas dari iPhone SE, bersamaan dengan iPhone X serta iPhone 6s pada pertengahan September lalu.
Padahal di beberapa bulan sebelumnya, rumor secara masif beredar soal generasi kedua dari iPhone SE yang generasi pertamanya rilis pada 2016, berharap masih ada pasar smartphone mungil di dunia ini. Namun tidak ada iPhone SE muncul, hanya iPhone XS, si jumbo XS Max, serta si budget XR yang dirilis.
Dengan adanya tren melebarnya smartphone ini, ternyata strategi untuk merilis iPhone SE di 2016 bukan ide bagus. Berdasar data dari Phone Arena, angka penjualannya turun dari kuartal ke kuartal, dan tak pernah mengimbangi penjualan iPhone 6, 6s, dan 6S Plus.
Soal iPhone X yang tak lagi diproduksi, secara sederhana Apple kini memiliki iPhone XS dan XS Max yang jauh lebih baik dari berbagai aspek baik desain, fitur, dan spesifikasi. Hal ini membuat tak ada lagi alasan untuk lanjut memproduksi iPhone X. Hal yang sama juga berlaku di iPhone 6s yang umurnya bahkan telah menginjak 3 tahun.
Kasus Pelecehan Seksual Google
Tahun 2018 adalah tahun di mana pelecehan seksual didengung-dengungkan untuk diberantas, sehingga muncul berderet pergerakan seperti #MeToo. Tak cuma di dunia seleb, pergerakan ini juga mencanangkan untuk diberantasnya pelecehan seksuak di tempat kerja. Salah satu yang kena adalah raksasa teknologi Google.
Bahkan, direktur Utama Google, Sundar Pichai mengatakan, bahwa perusahaan raksasa teknologi itu telah memecat 48 karyawan dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
Hal ini ramai karena laporan The New York Times soal Andy Rubin yang terkenal sebagai pencipta Android, tersandung pelecehan seksual. Andy Rubin, disebut telah menerima paket pesangon senilai USD 90 juta ketika meninggalkan perusahaan tersebut, setelah seorang karyawan Google menuduhnya melakukan pelanggaran seksual.
Meski demikian, Pichai menegaskan, tidak satu pun dari 48 karyawan yang dipecat, menerima "bonus".
Pelecehan seksual di Silicon Valley dan dunia teknologi --termasuk Google-- telah menjadi masalah besar selama bertahun-tahun. Sekitar 90 persen perempuan di industri ini mengaku, mereka menyaksikan perilaku seksis di lingkungan kerja maupun pada konferensi perusahaan, demikian menurut temuan sebuah proyek survei yang disebut "Elephant in the Valley".
Selain itu, survei tersebut juga menemukan bahwa 65 persen persen perempuan melaporkan telah menerima "keuntungan yang tidak diminta" dari atasannya karena alasan seksual. Hasil survei menyebutkan, setengah dari mereka menerima 'pesangon' lebih dari satu kali.
Kebocoran Data Facebook
Soal kebocoran data Facebook adalah skandal terbesar Facebook selama satu setengah dekade berdiri. Hal ini terjadi setelah Cambridge Analytica menggunakan data dari jutaan profil jejaring sosial terbesar tersebut untuk mempengaruhi hasil pemilu Presiden AS pada 2016 lalu.
Cambridge Analytica sendiri adalah perusahaan yang dimiliki oleh milyuner teknologi bernama Robert Mercer. Sejak 2014 silam, Cambridge Analytica mengembangkan sebuah teknik untuk mendapat data Facebook dari kuis kepribadian. Tipe kuis yang memang cukup populer di Facebook ini dikerjakan oleh perusahaan pihak ketiga, yakni Global Science Research. Kuis ini menggunakan algoritma yang secara personal memprofil dan menarget mereka yang berada di usia pemilih.
Dengan ini, jika Anda berteman Facebook dengan seseorang yang menggunakan aplikasi uji kepribadian bernama "thisisyourdigitallife," maka Anda telah berkonsensus dengan Global Science Research untuk mereka mengakses data Anda.
Parahnya, banyak sekali pengguna Facebook di AS dibayar untuk menggunakan aplikasi ini. Tentu akhirnya teman-teman mereka yang menggunakan aplikasi ini akhirnya juga 'terpanen' datanya.
Data-data yang dipanen ini termasuk di antaranya adalah apa saja yang Anda like di berbagai situs di Facebook. Dengan data yang dibangun dari like ini saja, algoritma yang dikembangkan Cambridge Analytica bisa mengetahui berbagai hal seperti ras, gender, orientasi seksual, bahkan trauma masa kecil dan juga kerentanan terhadap jenis narkoba tertentu.
Hal ini membuat data-data yang cukup valid dan detil dari banyak akun profil di Facebook. Cambridge Analytica pun bisa merancang profil detil berdasarkan data ini, dan mencocokkannya dengan catatan pemilik. Dengan ini, mereka akan tahu sang calon pemilih ini akan memilih siapa, jika sesuai dengan tujuan mereka, di mana dalam kasus ini, memilih Trump, tak ada masalah. Jika mereka cenderung memilih Hillary, mereka akan membuat sistem periklanan yang akan tampil di timeline sang pemilih yang mungkin bisa mengubah pandangan mereka untuk memilih Trump.
GoPro Karma Kalah Saing dan Menyerah
Tahun 2018 diawali dengan kegagalan, yakni mundurnya GoPro Karma dari industri drone. Hal ini terjadi setelah GoPro dirumorkan merumahkan ratusan karyawannya dari divisi drone Karma.
GoPro mundur dengan alasan sulitnya menjaring keuntungan di pasar drone yang "sangat kompetitif." Drone Karma sendiri dianggap sebagai pilihan kedua dari DJI. Masalahnya, DJI sangat menguasai pasar dengan berbagai variasi produknya dan Karma menghadapi yang disebut GoPro sebagai "tantangan margin pasar yang sangat kompetitif." Hal ini secara sederhana berarti bahwa mereka kalah dari DJI dengan margin yang sangat lebar.
Salah satu kambing hitam lain adalah dikuranginya pasar penjualan Karma di Eropa dan AS, dan ini merupakan keputusan dari GoPro yang dianggap justru menjatuhkan nama Karma di mata konsumen.
Google Plus Bocorkan Data dan Tutup
Setelah mengungkap sendiri kalau Google Plus mengalami ratusan ribu kebocoran data pribadi pengguna, akhirnya Google Plus akan ditutup. Melansir Tekno Liputan6.com, penyebab kebocoran data pengguna ditengarai berasal dari sebuah bug API di dalam platform, yang bisa memberikan akses kepada pengembang aplikasi pihak ketiga untuk mengakses profil dan data pribadi pengguna Google+.
Ada sekitar 500.000 akun pengguna yang datanya bocor, sedangkan ada 438 aplikasi pihak ketiga yang kemungkinan bisa saja mengakses data pribadi pengguna dari bug tersebut. Adapun data yang bocor meliputi nama pengguna, alamat email, pekerjaan, jenis kelamin, dan usia.
Sampai saat ini, tidak dapat dipastikan apakah Google+ bakal 'hidup' kembali atau benar-benar dimatikan secara permanen.
(mdk/idc)