APJII: BHP penomoran rentan di judicial review
(BHP) penomoran justru membuat wibawa UU Telekomunikasi yang baru akan runtuh
Adanya klausul biaya hak penggunaan (BHP) penomoran justru membuat wibawa UU Telekomunikasi yang baru akan runtuh, karena dinilai minim aspirasi, aturan ini berpotensi dimohonkan uji materi (judicial review) oleh para pengusaha.
Munculnya biaya penomoran membuat aturan ini lebih buruk dari undang-undang telekomunikasi yang lama, sangat debatable dan bisa di-judicial review, ungkap Sapto Anggoro, Sekjen Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), belum lama ini.
-
Apa yang diteliti oleh APJII? Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis survei penetrasi internet Indonesia 2024. Hasil surveinya itu menunjukan jumlah pengguna internet mencapai 221 juta dari 278 juta jiwa penduduk negeri ini. Praktis, tingkat penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai 79.5 persen dari total populasi.
-
Apa yang menjadi rekomendasi APJII terkait insiden PDNS 2? APJII juga memberikan beberapa rekomendasi penting terkait pemulihan Pusat Data Nasional dan langkah-langkah ke depan. Pertama, Evaluasi dan Peningkatan Sistem Keamanan Siber. “Pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem keamanan siber di Pusat Data Nasional dan memastikan adanya peningkatan yang signifikan dalam protokol keamanan untuk mencegah serangan di masa depan,” ungkap dia.
-
Apa saja yang tercakup dalam kerja sama APJII dan Starlink? Konkret dari MoU ini adalah Starlink terhubung dengan Indonesia Internet Exchange (IIX). Dengan demikian, ini memberikan dorongan positif untuk meningkatkan konektivitas dan lalu lintas data di dalam negeri.
-
Kenapa APJII menjalin kerja sama dengan Starlink? Tujuannya untuk pemerataan akses internet di Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan PT Starlink Services Indonesia (Starlink) resmi menandatangani Memorandum of Understanding (MoU). Mou ini bertujuan meningkatkan akses internet di seluruh Indonesia.
-
Bagaimana APJII ingin memastikan keamanan data di masa depan? "Kami berharap bahwa pemerintah dan semua pemangku kepentingan dapat bekerja sama untuk memperkuat infrastruktur keamanan siber kita. APJII siap mendukung setiap upaya untuk meningkatkan keamanan data dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang di masa depan,” terangnya.
-
Mengapa APJII tertarik untuk meneliti akses internet di daerah 3T? Penyebaran internet di daerah Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal (3T) terus mengalami perkembangan yang signifikan.
Kemungkinan wacana judicial review muncul setelah APJJI rapat dengan sejumlah anggotanya dan pelaku usaha lain. Para pengusaha berpendapat, semestinya ada klausul yang melibatkan pengusaha dalam pelaksanaan proyek yang berasal dari dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selama ini pemerintah jalan sendiri, misalnya ketika menggelar proyek dari pungutan Universal Service Obligation (USO), karena tanpa pengawasan ujungnya tidak sesuai yang industri harapkan, tambah Sapto.
Dia mengatakan, APJII konsisten menolak pungutan telekomunikasi yang tidak jelas. Selain BHP penomoran, APJII juga menolak BHP Jasa Telekomunikasi terhadap pengusaha internet service provider (ISP) karena dinilai memberatkan industri.
Menurut Sapto, karena banyaknya penolakan semestinya RUU Telekomunikasi tidak disahkan. Pemerintah jangan terkesan mengejar target tanpa memperhitungkan perlindungan terhadap hak-hak pelaku usaha. "Kalau hanya mengejar target, pasti dampaknya akan buruk," ungkapnya.
Senada dengan Sapto, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) juga menolak aturan BHP penomoran. Pasalnya, aturan ini hanya mengatur kewajiban sedangkan operator tidak mendapatkan pembinaan dari pemerintah.
"Kalau operator membayar berarti negara punya kewajiban untuk membina, lah itu membina apa? Kalau tujuannya tidak jelas saya rasa kebijakan ini tidak pada tempatnya," ungkap Setyanto P Santosa, Ketua Umum Mastel.
Sekadar informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas RUU Telekomunikasi menggantikan UU Nomor 36 tahun 1999. Dalam RUU Tersebut mengatur adanya kewajiban dari seluruh operator seluler untuk menerapkan BHP penomoran.
Sebelum sampai ke tangan DPR, RUU tersebut diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan targetnya disahkan 2014. Pemerintah beranggapan, BHP penomoran perlu karena jumlah nomor digit kartu telepon pelanggan seluler adalah sumber daya terbatas.
(mdk/dzm)