Pemerintah lamban dalam rilis PP untuk UU ITE dan UU Pornografi
Dengan tidak adanya turunan UU ITE dan UU Pornografi, maka batasan konten yang harus ditapiskan menjadi tidak jelas.
Tentunya menjadi rumit dan sulit apabila dari segi perundang-undangan terkait penutupan akses untuk situs-situs dengan konten porno. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Kabid NIR Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Valens Riyadi.
Valens berpendapat bahwa UU Pornografi atau juga UU ITE seharusnya sama seperti Undang-Undang lainnya yang pernah dibuat dan dilaksanakan di Indonesia.
Sayangnya, ada kekurangan dalam pengaplikasian Undang-Undang tersebut dalam operasionalnya. Menurut Valens, UU Pornografi atau juga UU ITE harusnya mengatur tatanan hidup dan larangan dalam skala global bukan secara detail dan dalam tingkat operasional.
Bahkan, masih menurut Valens, PP turunan untuk kedua Undang-Undang tersebut sampai sekarang juga masih belum muncul atau mungkin juga belum digodok secara matang.
Padahal setelah dibuatnya sebuah Undang-Undang, maka pemerintah wajib mengeluarkan PP selambat-lambatnya 1 tahun terhitung sejak UU tersebut diundangkan. Hal itu berfungsi untuk memberikan panduan secara detail tentang bagaimana pelaksanaannya.
"Bahkan, apabila diperlukan, harus ada juklak khusus yang lebih teknis. Biasanya akan dibuat Peraturan Menteri," jelas Valens.
Dengan tidak adanya turunan UU ITE dan UU Pornografi, maka batasan konten yang harus ditapiskan menjadi tidak jelas, daftar situs atau laman mana yang wajib ditapiskan serta teknis cara penapisan tersebut.
Dikarenakan hal tersebut, maka langkah-langkah penapisan yang dilakukan para operator menjadi berbeda-beda, sporadis dan melakukannya dengan berdasar dan cara sendiri-sendiri.
Selain itu, dengan tidak adanya PP turunan dari UU ITE dan UU Pornografi tersebut maka untuk melakukan pemblokiran baik situs ataupun konten menjadi abu-abu.
"Mana konten yang diperbolehkan, mana yang dilarang," lanjut Valens.
Menjadi satu hal yang sangat dilematis apabila PP tersebut tidak juga dibuat, karena di satu sisi jika secara frontal melakukan pemblokiran maka akan berbenturan dengan hak kebebasan dalam memperoleh informasi yang hal tersebut juga dilindungi undang-undang. Di sisi lain, apabila tidak diblokir, maka konten-konten seperti itu akan semakin bermunculan.
Menurutnya, sekarang ini, banyak orang yang dengan mudah melewati teknis penapisan yang dilakukan oleh operator. Hal itu dikarenakan muncul banyak sekali cara-cara dan tutorial bagaimana melewati sistem penapisan yang diterapkan jaringan.
"Di sisi lain apabila dilakukan penapisan secara menyeluruh, maka juga akan memberatkan karena cukup sulit sekaligus mahal untuk dilakukan," tandasnya.