Kehidupan Sulit Anak Para Sopir ini Berubah Manis, jadi Jenderal TNI Hingga Sosok Berpengaruh di Indonesia
Ayah Try Sutrisno merupakan sopir Ambulans, sementara ayah Luhut Bisnsar sopir bus.
Kesuksesan yang diraih tidak serta merta instan. Ada perjuangan serta merasakan pahit getirnya kehidupan semasa kecil.
Kehidupan Sulit Anak Para Sopir ini Berubah Manis, jadi Jenderal TNI Hingga Sosok Berpengaruh di Indonesia
Nasib hidup manusia memang penuh misteri. Kesusahan dan kebahagiaan seakan tak akan lepas dari kehidupan setiap orang.
Ketika mengalami susah dan pedih menjalani hidup, bukan tak mungkin akan merasakan bahagia serta sukses di kemudian hari.
Seperti kisah dua sosok berikut ini. Kesuksesan yang diraih tidak serta merta instan. Ada perjuangan serta sempat merasakan pahit getirnya kehidupan semasa kecil. Terlebih lagi, sang ayah hanya berprofesi sebagai sopir.
Berikut ulasannya, dilansir dari berbagai sumber.
Anak Sopir Ambulans
Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno terlahir bukan dari keluarga kaya raya. Ayahnya, Subandi petugas kesehatan, khususnya bagian sopir ambulans.
Kehidupan Try Sutrisno saat kecil cukup memprihatinkan. Pria kelahiran Surabaya, 15 November 1935 pernah putus sekolah. Dia keluarganya kemudian pindah ke Mojokerto.
Try Sutrisno lalu membantu mencari nafkah sebagai penjual rokok dan penjual koran saat ayahnya bekerja sebagai sebagai petugas medis untuk Batalyon Angkatan Darat Poncowati.
Saat itu, Batalyon berfokus pada perlawanan terhadap Belanda yang kembali menduduki Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Melihat kegigihan ayahnya di Batalyon Poncowati membuat Try Sutrisno memiliki keinginan untuk turut bergabung. Tetapi, usianya yang saat itu masih 13 dianggap sebagai keinginan yang tidak serius.
Oleh karena itu, ia hanya ditugaskan menjadi kurir yang mencari informasi ke daerah yang diduduki Belanda.
Setelah Belanda mundur, keluarga Try Sutrisno kembali ke Surabaya dan ia dapat melanjutkan sekolahnya pada 1956.
Setelah lulus SMA, keinginan Try untuk bergabung di dunia militer tidak surut. Ia memutuskan untuk mendaftar Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD). Ia baru lulus dari sana pada 1959. Tahun 1972 Try dikirim ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).
Dua tahun setelahnya, ia langsung dipilih menjadi ajudan Presiden Soeharto dan posisi itu merupakan bagian dari pijakan karir Try Sutrisno.
Empat tahun setelah Try terpilih menjadi ajudan Presiden yakni 1978, ia langsung diangkat menjadi Kepala Staf di Komando Daerah Militer (KODAM) XVI/Udayana di Kepulauan Nusa Tenggara.
Setahun kemudian, ia dimutasi dan menjadi Panglima di KODAM IV/Sriwijaya yang bermarkas di Palembang.
Pada posisi ini, ia turut berperan untuk mengkampanyekan agar mengembalikan gajah Sumatra ke habitat aslinya.
1982 Try kembali dimutasi dan diangkat menjadi Panglima KODAM V/Jaya di Jakarta. Tiga tahun berselang, pada 1985 Try dipercaya menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, yang kemudian di tahun 1986 menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Tak lama setelahnya, 1988 ia ditunjuk sebagai Panglima ABRI dan menggantikan L.B. Moerdani. Masa jabatan Try sebagai Panglima ABRI sekaligus di dunia militer berhenti pada Februari 1993.
Selesai menjadi Wakil Presiden, Try kembali pada kiprahnya. Ia terpilih menjadi Ketua Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) pada 1998.
Try Sutrisno kemudian dicalonkan MPR dari fraksi ABRI menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Soeharto.
Anak Sopir Bus
Siapa sangka sosok gagah dan 'sangar' ini ternyata menyimpan masa lalu yang jarang diketahui publik. Dikenal sebagai pensiunan jenderal TNI yang sukses, Luhut Binsar Pandjaitan ternyata lahir dari keluarga sederhana.
Sang ayah merupakan sopir bus. Namun berkat kegigihan sang ayah, pada akhirnya bisa menjadi orang Indonesia pertama yang kuliah di salah satu kampus ternama di Amerika Serikat.
Luhut bercerita, sang ayah Bonar Pandjaitan tadinya merupakan seorang TNI berpangkat Letnan. Namun karena turun jabatan jadi seorang Pembantu Letnan Satu, ayahnya akhirnya mengundurkan diri dari pasukan pengaman negara.
"Memang betul, ayah saya seorang letnan dalam perang kemerdekaan. Terus dia jadi Peltu. Terus dia merasa enggak terima pangkatnya diturunkan. Akhirnya dia jadi sopir mobil Sibualbuali di tahun 1949-1950,
ujar Menko Luhut dalam acara peluncuran buku berjudul Luhut Binsar Pandjaitan Menurut Kita-Kita di Gramedia Matraman, Jakarta, Jumat (29/9).
Tidak berhenti di situ, ayah Luhut masih tetap haus pendidikan hingga meneruskan studinya ke kampus tol lain di Negeri Paman Sam.
"Tapi ayah saya orang pertama Indonesia masuk di Cornell University, engineer, dan di kemudian hari dia masuk lagi di Columbia (University)," imbuhnya.
Bukan hanya sosok ayah, Luhut juga berterimakasih kepada ibunya, Siti Frida Naiborhu yang hanya lulusan sekolah setingkat SD.
"Itu ayah saya. Ibu saya dia tidak lulus SR (Sekolah Rakyat). Tapi saya lihat ibu saya itu belajar hebat, dan mau anaknya hebat. Jadi tiap hari itu ayah saya kerja di Caltex dari pegawai rendahan sampai kepada pegawai tinggi di Caltex, dan dia mau saya harus kayak gitu. Itu pesannya, pokoknya kamu harus seperti itu," cerita Luhut.
Luhut Binsar Pandjaitan lahir di Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada 28 September 1947 (76 tahun).
Luhut merupakan Purnawirawan Jenderal TNI yang berpengalaman sebagai Perwira Kopassus.
Luhut merupakan alumni AKABRI tahun 1970 dan penerima penghargaan Adhi Makayasa untuk lulusan terbaik AKABRI bagian Darat. Karier Luhut di militer dan politik cukup moncer hingga menduduki berbagai posisi penting didudukinya. Di antaranya di militer Danpussenif (1996–1997), Dankodiklatad (1997–1998). Sementara itu saat ini, Luhut menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Kabinet Indonesia Maju.