Mengetahui 3 Jenis Riya dalam Ibadah, Dapat Membatalkan dan Menghapus Pahala
Ibadah seharusnya dilakukan dengan niat yang murni, tetapi sering kali niat tersebut tercemar oleh sifat riya.
Manusia diciptakan untuk tujuan beribadah kepada Allah, dan ibadah tersebut seharusnya dilakukan dengan niat yang tulus dan ikhlas. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan hartamu, tetapi Dia hanya melihat hati dan amalmu". (HR Muslim) Hal ini menunjukkan pentingnya niat dalam setiap tindakan ibadah yang kita lakukan.
- Niat dan Tata Cara Puasa Syawal, Serta Hukum Puasa Syawal saat Masih Punya Hutang Puasa Ramadhan
- Riya Adalah Salah Satu Penyakit Hati yang Berbahaya, Ketahui Hukumnya
- Niat Jamak Takhir, Tata Cara, dan Bacaan Doanya yang Patut Diketahui
- Niat Sholat Tahajud beserta Tata Cara dan Doanya yang Wajib Diketahui
Namun, sebagai manusia, kita tidak lepas dari kesalahan. Terkadang, niat ibadah bisa tercemar oleh sifat riya, yaitu keinginan untuk menunjukkan amal ibadah kepada orang lain. Padahal seharusnya ibadah tersebut hanya ditujukan kepada Allah. Pertanyaannya, bagaimana hubungan antara ibadah dengan sifat riya? Apa yang terjadi pada ibadah kita jika disertai dengan riya? Berikut adalah ulasan yang dikutip dari islampos.com.
Riya dalam Ibadah
Pertama-tama, motivasi seseorang dalam beribadah yang tulus tidak seharusnya ingin dilihat oleh orang lain. Artinya, seseorang yang melaksanakan sholat hanya untuk mendapatkan pujian dari orang lain, seperti menantu yang beribadah dengan niat agar mertua mengapresiasi, adalah contoh dari riya yang disengaja. Riya semacam ini dapat membatalkan ibadah yang dilakukan.
Kedua, ada juga riya yang muncul di tengah pelaksanaan ibadah. Ini terjadi ketika seseorang memulai ibadah dengan niat yang ikhlas, namun kemudian niatnya berubah menjadi riya. Misalnya, seorang ikhwan yang awalnya membaca Al-Qur'an dengan suara pelan saat sendirian, tiba-tiba mengeraskannya agar terdengar oleh akhwat yang lewat di depannya. Kasus seperti ini melibatkan dua kondisi. Jika niat awal ibadah tidak terhubung dengan niat akhir, maka ibadah yang dilakukan di awal tersebut sah, sementara yang diakhir menjadi batal karena terpengaruh riya. Sebagai contoh, seseorang yang bersedekah Rp50 dengan niat ikhlas, kemudian menambah Rp100 lagi dengan tujuan agar dipuji, maka sedekah pertama sah, tetapi yang kedua batal.
Jika niat awal ibadah sangat terkait dengan niat akhir, maka akan ada dua kemungkinan. Pertama, apabila seseorang berusaha melawan niat riya dan merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut, serta berusaha menjauh dari riya, maka riya tersebut tidak akan mempengaruhi ibadahnya.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, "Sesungguhnya Allah mengampuni bisikan hati dari umatku selama tidak dilakukan atau diucapkan."
Sebaliknya, jika seseorang merasa nyaman dengan riya dan tidak berusaha untuk melawannya, maka seluruh ibadahnya dari awal hingga akhir menjadi batal. Ini disebabkan oleh keterkaitan antara niat awal dan akhir ibadah. Contohnya, dalam sholat, jika seseorang memulai sholat dengan niat ikhlas karena Allah Ta'ala, tetapi pada rakaat kedua terpengaruh riya, maka seluruh sholat yang dilakukan dari rakaat pertama hingga terakhir menjadi batal, karena ada hubungan antara rakaat pertama dan rakaat terakhir.
Riya Menyerang Usai Beribadah
Ketiga, riya dapat muncul setelah ibadah selesai dilakukan. Dalam kondisi ini, riya tidak mempengaruhi keabsahan ibadah yang telah dilaksanakan. Ibadah yang dilakukan dengan penuh keikhlasan tetap dianggap sempurna, meskipun ada rasa riya yang muncul setelahnya.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, "Barangsiapa yang merasa senang dengan kebaikannya dan gelisah karena keburukannya maka dialah seorang mukmin."
Dalam konteks ini, ketika Nabi SAW ditanya mengenai hal tersebut, beliau menjawab, "Itulah kabar gembira yang disegerakan bagi orang beriman."
Oleh karena itu, seorang muslim perlu menjaga keikhlasan dalam ibadahnya dari awal hingga akhir. Jangan sampai ibadah yang dilakukan ternodai oleh riya, sehingga pahalanya bisa hilang karena dosa yang ditimbulkan oleh riya tersebut.
Rasulullah SAW juga bersabda, "Sesungguhnya amal ibadah itu bergantung pada niat."
Dengan demikian, menjaga keikhlasan niat dalam melaksanakan ibadah adalah hal yang sangat penting. Niat yang lurus 'lillahi ta'ala' harus senantiasa dijaga, baik pada saat memulai ibadah, saat menjalankannya, maupun ketika menyelesaikannya. Hal ini sangat penting agar setiap amal yang dilakukan mendapatkan ridha dari Allah SWT dan tidak ternodai oleh niat yang tidak baik. Kesadaran akan hal ini akan membantu seorang muslim untuk selalu berfokus pada tujuan utama dari ibadah yang dilakukannya.