4 Dampak pelemahan Rupiah, dari inflasi hingga PHK
Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) masih belum beranjak dari level Rp 13.500-an per USD. Pada perdagangan Rabu (11/10), Rupiah dibuka di 13.496 per USD atau menguat tipis dibanding penutupan perdagangan sebelumnya di Rp 13.512 per USD.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) masih belum beranjak dari level Rp 13.500-an per USD. Pada perdagangan Rabu (11/10), Rupiah dibuka di 13.496 per USD atau menguat tipis dibanding penutupan perdagangan sebelumnya di Rp 13.512 per USD.
Mengutip data Bloomberg, Rupiah bergerak fluktuatif usai pembukaan. Bahkan, nilai tukar sempat menyentuh Rp 13.540 per USD pukul 14.50 WIB. Kemudian, Rupiah ditutup melemah di level Rp 13.530 per USD.
-
Apa yang membuat Pejuang Rupiah istimewa? "Makin keras kamu bekerja untuk sesuatu, makin besar perasaanmu ketika kamu mencapainya."
-
Bagaimana Pejuang Rupiah bisa menghadapi tantangan ekonomi? "Tidak masalah jika kamu bekerja sampai punggungmu retak selama itu sepadan! Kerja keras terbayar dan selalu meninggalkan kesan abadi."
-
Apa yang terjadi pada nilai tukar rupiah ketika Indonesia mengalami hiperinflasi di tahun 1963-1965? Di tahun 1963 hingga Soekarno lengser sebagai Presiden tahun 1965, Indonesia mengalami hiperinflasi sebesar 635 persen dengan nilai tukar rupiah saat itu berkisar Rp11 per USD1.
-
Bagaimana redenominasi rupiah dilakukan di Indonesia? Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang, contohnya Rp 1.000 menjadi Rp 1.
-
Kapan Pejuang Rupiah harus bersiap? "Jangan khawatir tentang menjadi sukses tetapi bekerjalah untuk menjadi signifikan dan kesuksesan akan mengikuti secara alami." – Oprah Winfrey
-
Apa itu inflasi? Sekadar informasi, inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa, yang berdampak pada biaya hidup.
Tentunya, kondisi pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus akan berimbas pada berbagai hal. Bahkan, sebagian pengusaha mengaku dilema saat Rupiah anjlok maupun menguat.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara mengatakan ada tiga penyebab yang membuat nilai tukar melemah. Pertama adalah Presiden AS Donald Trump yang mengajukan proposal baru terkait penurunan pajak di AS.
Kedua, (Gubernur bank sentral AS) Yellen berikan statement seminggu lalu bahwa suku bunga AS akan naik di Desember. Ketiga, spekulasi mengenai adanya pergantian pergantian gubernur bank sentral AS.
Lalu, apa saja dampaknya bagi Indonesia. Berikut 4 dampak pelemahan nilai tukar Rupiah, seperti dikutip Cermati.
Inflasi bisa melambung
Bila nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan, maka akan memicu inflasi. Harga-harga barang di dalam negeri akan meningkat. Terutama untuk barang atau produk yang diolahnya dari bahan baku impor.
Mengapa demikian? Karena produsen harus merogoh kocek lebih besar lagi untuk membeli bahan bakunya dari luar negeri itu alias impor.
Kalau sudah begitu, maka tidak mungkin produsen menjual barangnya sama seperti sebelumnya ketika rupiah tidak melemah. Artinya, produsen harus menjual produknya dengan harga yang mahal agar tidak merugi.
Jika produsen tetap menjual produknya dengan harga yang sama, maka yang akan dikorbankan adalah kualitasnya. Maka jalan satu-satunya adalah dengan menaikkan harga jual produknya agar tetap untung dan menjaga pangsa pasarnya.
Karena itu lah konsumen akan membeli produk-produk itu dengan harga yang lebih mahal dari biasanya. Dengan semakin mahalnya barang-barang tersebut terutama untuk barang konsumsi, maka akan memicu inflasi tinggi.
Order eksportir menyusut
Dengan pelemahan Rupiah, maka para eksportir yang sebelumnya kebanjiran order dari luar negeri, bisa-bisa menyusut. Tentu tidak semua eksportir, tapi khusus eksportir yang produknya masih bergantung pada bahan baku impor.
Sebab, jika Rupiah melemah, maka harga jual produk menjadi mahal. Tidak hanya di dalam negeri, tapi juga harga jual di luar negeri tak lagi kompetitif.
Jika ini terjadi, maka permintaan barang ekspor menurun sehingga penjualan makin lesu dan produsen banyak kehilangan order.
Persaingan makin ketat karena karena bisa jadi negara lain punya produk yang lebih murah akibat nilai tukar mereka lebih kuat dibanding Rupiah. Hal ini akan makin merugikan produsen kita karena produknya tidak lagi kompetitif.
Bila konsumen luar negeri tidak mau beralih dengan produk lain alias sudah jatuh cinta dengan produk kita, biasanya mereka hanya mengurangi jumlah pesanannya karena tidak mampu dengan harga yang ditawarkan.
Memicu defisit neraca perdagangan
Bila pelemahan Rupiah terus berlanjut volume ekspor memang akan meningkat. Ini khusus untuk ekspor komoditas mentah yang selama ini menjadi komoditas utama ekspor Indonesia.
Sebab, semakin Rupiah melemah, maka harga barang-barang ekspor Indonesia dari komoditas mentah itu atau produk lainnya yang tidak bergantung impor akan lebih murah dibanding negara lain.
Ini akan menguntungkan importir di luar negeri sana karena mendapatkan barang yang sama dengan harga murah, sekaligus menguntungkan juga para eksportir Indonesia karena ada permintaan yang banyak atau volume ekspornya meningkat.
Namun di sisi lain, juga bisa mengancam neraca perdagangan Indonesia, bahwa pelemahan rupiah tidak menguntungkan bagi eksportir atau produsen yang mengandalkan bahan baku/penolong dari impor. Karena biaya produksinya semakin tinggi dan harga jual produknya mau tidak mau semakin mahal.
Kalau sudah demikian, maka eksportir yang memproduksi barang-barang manufaktur berkebutuhan impor tinggi akan semakin tidak kompetitif. Di sisi lain, mahalnya barang impor menyebabkan industri manufaktur akan semakin sulit berkembang. Sehingga ekspor manufaktur Indonesia bisa berpotensi mengalami kontraksi.
Padahal, ekspor manufaktur ini yang mampu menjaga surplus neraca perdagangan menjadi berkualitas. Sebab, jika mengandalkan surplus dari neraca nonmigas utamanya komoditas mentah hasil perkebunan seperti batu bara atau CPO, maka sewaktu-waktu bisa terpengaruh oleh harga komoditas internasional yang berfluktuatif. Ketika harga komoditas global tinggi, bisa meraup untung, dan sebaliknya.
Artinya, kalau pun neraca perdagangan masih bisa mencatatkan surplus. Jika pelemahan nilai tukar rupiah juga terus berlanjut, maka berpotensi besar akan mengalami defisit.
Memicu PHK
Satu hal yang merisaukan akibat turunnya nilai tukar rupiah adalah munculnya pemutusan hubungan kerja. Seperti ulasan di atas, pelemahan rupiah bisa menyebabkan produsen harus mengeluarkan biaya tinggi untuk produksinya dan berakibat pada naiknya harga jual produk, sehingga inflasi meningkat dan daya beli masyarakat tererus.
Bila daya beli masyarakat tergerus, maka mereka akan mengurangi konsumsinya, dan banyak barang yang tidak habis terjual. Jika produsen masih banyak stok, maka produksi berkurang atau bahan terhenti. Jika demikian, mau tidak mau industri akan mengurangi jumlah karyawannya.
PHK menjadi mata rantai yang makin memperberat perekonomian nasional dan bisa terjadi akibat depresiasi rupiah berdampak pada ekspor dan impor. Saat terjadi depresiasi, harga barang-barang impor meningkat karena nilai mata uang kita dibanding Dolar AS dan berbagai mata uang asing lainnya melorot.
Pengguna barang impor harus membayar uang lebih besar untuk barang yang dibelinya, sedangkan sebagian dari barang yang diimpor Indonesia adalah barang modal, termasuk bahan baku, mesin pertanian, dan mesin-mesin untuk produksi manufaktur.
Di sisi lain, perusahaan juga harus membayar biaya produksi lainnya, seperti bunga pinjaman dan upah karyawan. Satu-satunya yang bisa dipangkas adalah biaya tenaga kerja.
Artinya, perusahaan bisa jadi akan berhenti menaikkan gaji atau mengurangi bonus, atau malah memecat karyawan jika beban biaya produksi dinilai sudah terlalu tinggi.