Ternyata, Begini Dampak Parah Jika PPN Naik 12 Persen di Era Prabowo
Kenaikan tarif PPN tersebut diproyeksikan berdampak negatif terhadap ekonomi baik pertumbuhan ekonomi, inflasi, upah riil buruh.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti mengatakan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dinaikkan menjadi 12 persen di 2025 akan mengakibatkan kontraksi terhadap perekonomian Indonesia.
"Kami coba menghitung jika skenario kenaikan tarif itu PPN 12,5 persen, maka yang terjadi adalah ternyata kenaikan tarif ini membuat perekonomian terkontraksi," kata Esther Diskusi Publik online bertajuk “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat”, Kamis (12/9).
Menurut Esther, kenaikan tarif PPN tersebut diproyeksikan berdampak negatif terhadap ekonomi baik pertumbuhan ekonomi, inflasi, upah riil, ekspor, dan impor, serta konsumsi masyarakat juga akan menurun.
"Artinya upah nominal itu juga akan turun, artinya income riil-nya juga turun, kemudian dari inflasi IHK juga akan terkontraksi menjadi minus, kemudian PDB juga atau pertumbuhan ekonomi juga akan turun, konsumsi masyarakat juga akan turun, ekspor dan impor pun juga akan turun," ujarnya.
Adapun berdasarkan perhitungan Indef, jika skenario kenaikan tarif PPN sebesar 12,5 persen, maka upah nominal minus 5,86 persen, IHK minus 0,84 persen, pertumbuhan GDP minus 0,11 persen, konsumsi masyarakat anjlok 3,32 persen, ekspor akan minus 0,14 persen, dan impor juga diproyeksikan minus 7,02 persen.
"Nah, ini sekali lagi ini angka skenario jika tarif PPN itu dinaikkan menjadi 12,5 persen. Tetapi pada saat pemerintahan Presiden terpilih Prabowo nanti, Januari 2025 kan tarif PPN rencananya akan dinaikkan 12 persen, jadi kurang lebih ya angkanya akan sekitar ini ya," jelasnya.
Esther menegaskan kembali, jika skenario tarif PPN ini tetap dilaksanakan, maka pendapatan masyarakat itu akan menurun. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat perkotaan melainkan juga masyarakat pedesaan.
"Sehingga ini tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat pedesaan. Nah ini sekali lagi ini hitungan indef 2021 jika skenario kenaikan tarif PPN itu menjadi 12,5 persen," pungkasnya.
Penjelasan Sri Mulyani
Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di 2025 mendatang. Tak sedikit pihak yang meminta kebijakan tersebut ditunda karena kondisi ekonomi yang dirasa belum tepat.
Terkait hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai masyarakat selama ini hanya fokus pada kenaikan tarif PPN. Mengingat dalam bertransaksi masyarakat harus membayar PPN.
Banyak masyarakat yang menganggap semua barang kasa itu kena PPN," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN 2025 di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (16/8).
Padahal pemerintah telah membebaskan PPN untuk sejumlah barang. Hal ini pun telah tercantum dalam UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
"Sebetulnya dalam UU HPP itu sangat menjelaskan barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan dan transportasi itu tidak kena PPN," kata Sri Mulyani.
Sehingga rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen tidak berlaku bagi barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan hingga transportasi. Hal tersebut bisa memproteksi daya beli masyarakat untuk semua kalangan.
"Jadi kalau kita lihat, mereka (pembebesan PPN) dinikmati bahkan lebih pada kelompok kelas menengah sampai ke atas," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, pada akhirnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjaga daya beli masyarakat tetap konsumsi terjaga stabil. Mulai dari inflasi yang rendah, penciptaan lapangan kerja dan memberikan bantalan bantuan sosial yakni bantuan sosial, subsidi dan kompensasi, serta PPN yang dibebaskan.