Ini Alasan Penerapan Pajak PPN 12 Persen Harus Ditunda
Pemerintah bisa menunda kenaikan ppn 12 persen seperti penundaan pajak karbon, yang seharusnya efektif dimulai 1 April 2022.
Pemerintah berencana akan menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi sebesar 12 persen yang diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Hal itu sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 ayat 1.
Menurut Analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani dari sisi regulasi, sepanjang tidak ada aturan yang membatalkan pasal tersebut, maka pemerintah akan menjalankan kebijakan kenaikan tarif PPN tersebut.
Namun jika dilihat berdasarkan pengalaman sebelumnya, pemerintah bisa menunda pelaksanaan aturan tersebut. Seperti halnya pemerintah menunda pemungutan pajak karbon, yang seharusnya efektif dimulai 1 April 2022.
"Secara regulasi, pelaksanaan peraturan atau pelaksanaan peraturan, tergantung willingness dan orientasi pemerintah," kata Ajib dalam keterangan tertulisnya kepada merdeka.com, Senin (12/8).
Bila dilihat dari sudut pandang yang lebih rasional, Ajib menjelaskan pemberlakuan kenaikan tarif PPN ini cenderung lebih karena aspek bujet, yaitu fungsi fiskal untuk menambah penerimaan negara. Penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2023 sebesar Rp764,3 triliun.
Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen dan inflasi 2,5 persen pada tahun 2024 dan 2025, maka kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen akan memberikan kontribusi penerimaan tambahan tidak kurang dari Rp80 triliun pada tahun 2025.
"Kalau betul aspek budgeteir ini yang menjadi pertimbangan pemerintah, seharusnya ada kajian yang lebih mendalam, karena tren daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan," jelas dia.
Kelas menengah menurunkan
Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri menunjukkan kelas menengah mengalami penurunan dari 21,45 persen pada tahun 2019 menjadi 17,44 persen pada tahun 2023.
Sedangkan data dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia juga menyebutkan 8,5 juta penduduk Indonesia turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah dalam rentang 2018-2023.
Artinya, kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif, maka target pemerintah Prabowo Gibran yang membuat target pertumbuhan ekonomi cukup agresif, akan menghadapi kendala.
Sehingga jalan tengahnya, pemerintah bisa melakukan 2 (dua) kebijakan. Pertama, untuk tetap menjaga daya beli masyarakat, pemerintah bisa menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Ajib melanjutkan sesuai dengan PMK Nomor 101 tahun 2016, besaran PTKP adalah sebesar Rp54 juta per tahun, atau ekuivalen dengan penghasilan Rp4,5 juta per bulan. Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar Rp100 juta.
"Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan," terang Ajib.
Di sisi lain, pemerintah juga harus fokus mengalokasikan tax cost, dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi, misalnya sektor property atau untuk sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan dan peternakan.
Tetapi, secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan. Sehingga fiskal bisa tetap prudent.
"Prinsipnya, pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang kebijakan untuk menaikkan tarif PPN. Harus ada insentif fiskal yang relevan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan juga sektor usaha agar terus berjalan dengan baik. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen membutuhkan kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan," pungkas Ajib.