Begini Asal Usul Kenaikan PPN 12%, Diusulkan Jokowi Lewat RUU HPP saat Masih jadi Kader PDIP
Kebijakan ini diusulkan pemerintahan Jokowi lewat UU HPP yang disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 7 Oktober 2021.
Pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang. Dasar kenaikan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ini kemudian menuai kritik dari kalangan masyarakat yang menilai kebijakan tersebut dapat memberatkan ekonomi masyarakat.
Kebijakan ini diusulkan pemerintahan Jokowi lewat (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) UU HPP yang disahkan dalam rapat paripurna DPR MPR pada 7 Oktober 2021 dan diterbitkan oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo pada 29 Oktober 2021. Berikut Merdeka.com merangkum kilas balik usulan UU HPP tersebut:
Jokowi Usulkan PPN 12%
5 Mei 2021
Pemerintahan Jokowi yang saat itu masih berstatus sebagai kader PDIP mengirimkan surat presiden dengan nomor R-21/Pres/05/2021. Surat tersebut kemudian ditanggapi oleh Pimpinan DPR RI dengan terbitnya surat nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 pada 22 Juni 2021. Pada saat itu, UU HPP masih dikenal dengan nama Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), karena merupakan revisi kelima dari UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP.
28 Juni 2021
Komisi XI mulai membahas Revisi UU KUP bersama Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM, dengan agenda untuk membentuk panitia kerja (panja). Selanjutnya, Komisi XI DPR RI melanjutkan pendalaman, pembahasan, dan penyelarasan terkait RUU tersebut.
Setelah melakukan pendalaman dan pembahasan, pemerintah bersama DPR RI sepakat mengesahkan RUU HPP menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 pada Kamis, 7 Oktober 2021 lalu.
29 September 2021
RUU HPP Dibawa ke Paripurna
Pada saat itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP Dolfie Othniel Fredric Palit yang dipercayakan sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) melaporkan bahwa Komisi XI DPR telah menyepakati RUU HPP dan dibawa ke rapat paripurna pada 29 September 2021.
"Pembahasan Panja juga telah melaporkan hasil pembicaraan tingkat I dalam rapat kerja bersama pemerintah pada 29 September 2021 pukul 19.00 WIB dengan mendengarkan pandangan mini fraksi-fraksi terhadap hasil pembahasan RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan," kata Dolfie dilansir Merdeka.com dalam siaran ulang rapat paripurna di kanal Youtube DPR RI pada Senin (23/12).
Dalam laporan tersebut, Dollfie menyebut sebanyak 8 fraksi setuju agar RUU HPP dibawa ke rapat paripurna pada 29 September 2021 untuk kemudian disahkan, sementara 1 fraksi menolak.
Ada 8 fraksi yang setuju disebut Dolfie antara lain PDIP, Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP. Sementara 1 fraksi yang menolak adalah PKS.
"Dalam rapat kerja Komisi XI DPR bersama pemerintah tersebut, delapan fraksi, yaitu PDI Perjuangan, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi NasDem, Fraksi PKB, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyatakan menerima hasil kerja Panja dan menyetujui agar RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan segera disampaikan kepada pimpinan DPR RI untuk dilanjutkan kepada tahap pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI sehingga dapat disetujui dan ditetapkan sebagai undang-undang," kata Dolfie.
"Adapun satu yaitu Fraksi PKS belum menerima hasil kerja Panja dan menolak RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan dilanjutkan pada tahap pembicaraan tahap II dalam rapat paripurna DPR RI," lanjutnya.
RUU HPP Disetujui sebagai UU
Dolfie kemudian mengatakan bahwa berdasarkan rapat kerja Komisi XI DPR bersama pemerintah, Panja akhirnya memutuskan untuk membawa RUU HPP tersebut ke tahap pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI untuk disetujui dan ditetapkan sebagai Undang-Undang.
"Sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, rapat kerja Komisi XI bersama dengan pemerintah memutuskan untuk menyetujui hasil pembicaraan tingkat I terhadap RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan untuk dilanjutkan pada tahap pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna untuk disetujui dan ditetapkan sebagai Undang-Undang tentang Harmonisasi Perpajakan," kata Dolfie.
Pandangan Fraksi
Setelah itu, Dolfie lalu memaparkan pandangan dari sembilan fraksi tersebut secara detail. Berikut sikap masing-masing fraksi pada saat itu.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menyatakan bahwa memperhatikan aspirasi dan nasib kelompok menengah ke bawah dan pelaku UMKM dengan tetap berkomitmen bahwa barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat banyak, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa transportasi darat, jasa keuangan dan jasa pelayanan sosial dibebaskan dari pengenaan PPN.
Fraksi Partai Golongan Karya menyatakan bahwa Fraksi Partai Golkar dapat menerima sejumlah penyempurnaan mulai dari sistematika penomoran hingga perubahan redaksional dan penambahan pasal-pasal baru tentang pendelegasian kewenangan sejumlah ketentuan peraturan perundang yang mensyaratkan persetujuan DPR RI juga sangat berguna untuk menetralisir sejumlah spekulasi dan kekhawatiran dunia usaha yang berpengaruh pada iklim bisnis dan investasi nasional.
Fraksi Partai Gerindra menyatakan bahwa menilai program pengungkapan sukarela wajib pajak akan memfasilitasi para wajib pajak yang memiliki itikad baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan diharapkan program ini dapat meningkatkan kepatuhan sukarela berbasis mutual trust dan berdampak signifikan pada peningkatan penerimaan perpajakan yang berkelanjutan.
Fraksi Partai Nasdem menyatakan bahwa menilai sangat penting aturan mengenai asistensi penagihan tentang puasa wajib pajak, pembatalan usul kewenangan penangkapan, penahanan, modernisasi peraturan pengadilan secara in absentia dan program pengungkapan sukarela wajib pajak untuk mendorong kepatuhan pajak.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa menyatakan bahwa mendukung penerapan pajak karbon sebagai salah satu instrumen dalam mengurangi dan mengendalikan emisi karbon diharapkan kedepannya mengenai pajak karbon dapat mengubah perilaku masyarakat guna mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam melakukan proses produksinya.
Fraksi Partai Demokrat menyatakan meminta pemerintah agar melakukan sosialisasi kepada masyarakat atau wajib pajak perlu adanya edukasi terkait tentang manfaat pajak akan pentingnya membayar pajak hingga dapat timbul kesadaran dan kepatuhan untuk membayar pajak.
Fraksi PKS menyatakan menolak pembahasan tentang RUU harmonisasi peraturan perpajakan dan menyerahkan pengambilan keputusan selanjutnya dalam rapat paripurna DPR RI. Fraksi PKS menyampaikan pertimbangan penolakannya sebagai berikut. Pertama, Fraksi PKS tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Fraksi PKS berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN akan kontraproduktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional.
Fraksi PKS juga menolak barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan dan dikonsumsi oleh rakyat, dasar kesehatan medis, dasar pendidikan, jasa pelayanan sosial dan jasa layanan keagamaan menjadi barang/jasa kena pajak walau saat ini tarif PPN-nya masih 0% namun dengan menjadi BJKP, barang dan jasa tersebut suatu saat bisa dikenakan pajak. Fraksi PKS menolak pasal-pasal terkait dengan pengungkapan sukarela harta wajib pajak sebagaimana yang dipahami para ahli dan publik sebagai program tax amnesty jilid II. Pada tahun 2016, Fraksi PKS secara resmi menolak Undang-Undang Pengampunan Pajak.
Fraksi Partai Amanat Nasional menyatakan bahwa mengapresiasi dengan disetujuinya pengecualian penerapan pajak terhadap beberapa isu seperti pendidikan, kesehatan, sosial dan isu publik lainnya terkait jasa pendidikan hal ini sangat penting terutama agar sekolah dan lembaga pendidikan, khususnya yang berada di daerah tertinggal, terluar dan terdepan, dapat menjadi lebih berdaya dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Fraksi PPP menyatakan bahwa upaya pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan yang komprehensif namun harus dilakukan secara hati-hati dan proporsional agar tidak menjadi kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi.
Jokowi Terbitkan UU Nomor 7 Tahun 2021
Pada tanggal 29 Oktober 2021, Presiden ke-7 Joko Widodo menerbitkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Beleid tersebut menggantikan UU nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
UU HPP terdiri dari sembilan bab yang mencakup enam pengaturan kawasan, yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, dan Cukai. Setiap area pengaturan memiliki waktu penerapan kebijakan yang berbeda-beda.
Perubahan UU PPN, khususnya kenaikan tarif dari 10% menjadi 11%, mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022, dan akan meningkat lagi menjadi 12% paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Selain itu, perubahan UU PPh mulai berlaku pada tahun 2022, perubahan UU KUP berlaku sejak tanggal diundangkan, dan kebijakan PPS berlaku mulai 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. Pajak karbon mulai diterapkan pada 1 April 2022, sedangkan perubahan UU Cukai berlaku sejak diundangkan.
Jokowi Klaim UU HPP untuk Genjot Perekonomian
Pemerintahan Jokowi mengklaim bahwa UU HPP dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Oleh karena itu, diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang fokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.
Keputusan yang diambil mencakup kebijakan penerapan untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang lebih baik, serta peningkatan penyediaan sukarela dari wajib pajak.
Reporter Magang: Maria Hermina Kristin