Mengapa Lapar Perut Bisa Picu Lapar Mata? Ini Alasan Kenapa Puasa Buat Kita Banyak Berbelanja
Lapar perut dan lapar mata, dua kondisi berbeda yang ternyata saling berkaitan. Temukan penjelasan mengapa puasa seringkali memicu belanja berlebihan!

Pernahkah Anda mengalami situasi ini? Perut keroncongan, namun begitu melihat aneka makanan lezat di etalase, tiba-tiba keinginan makan memuncak, bahkan jauh melampaui rasa lapar fisik yang sebenarnya. Fenomena ini, yang sering kita sebut 'lapar mata', ternyata memiliki kaitan erat dengan 'lapar perut', sebuah kebutuhan fisiologis tubuh akan energi dan nutrisi. Artikel ini akan mengupas tuntas misteri di balik 'lapar mata', mengapa ia muncul, dan bagaimana kaitannya dengan kebiasaan belanja berlebihan, terutama setelah menjalani puasa.
Secara sederhana, lapar perut adalah sinyal biologis tubuh yang menandakan kekurangan energi. Perut terasa kosong, dan tubuh mengirimkan sinyal kuat untuk mencari makanan guna memenuhi kebutuhan nutrisi. Berbeda dengan lapar mata, yang merupakan keinginan makan yang dipicu oleh rangsangan visual, seperti melihat makanan yang menggugah selera, menonton tayangan kuliner, atau bahkan sekadar membayangkan cita rasa hidangan tertentu. Meskipun perut mungkin tak benar-benar lapar, dorongan kuat untuk mengonsumsi makanan spesifik tetap muncul, dan sulit untuk merasa puas dengan pilihan makanan lain.
Puasa, sebagai praktik menahan diri dari makan dan minum dalam jangka waktu tertentu, seringkali memicu fenomena lapar mata yang lebih intens. Setelah sekian lama menahan lapar, pancaindra seolah lebih sensitif terhadap rangsangan visual makanan. Akibatnya, keinginan untuk makan, yang didorong oleh faktor psikologis dan emosional, bisa melampaui batas kewajaran, bahkan berujung pada perilaku belanja berlebihan untuk memuaskan 'lapar mata' tersebut. Mari kita telusuri lebih dalam faktor-faktor penyebab dan solusi untuk mengatasi fenomena menarik ini.
Mengapa Lapar Mata Terjadi? Peran Dopamin dan Faktor Psikologis
Melihat atau memikirkan makanan yang menggiurkan memicu pelepasan dopamin, neurotransmitter yang terkait dengan rasa senang dan motivasi. Ini menciptakan keinginan kuat untuk mengonsumsi makanan tersebut. Proses ini menjelaskan mengapa iklan makanan begitu efektif; mereka merangsang pelepasan dopamin, menciptakan keinginan yang kuat untuk membeli dan mengonsumsi produk yang diiklankan.
Selain dopamin, stres, kebosanan, atau emosi negatif lainnya juga berperan besar. Lapar mata bisa menjadi mekanisme koping, cara untuk mengatasi stres atau emosi negatif. Makan menjadi sumber kenyamanan dan pengalihan sementara dari masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, penting untuk mengenali dan mengelola emosi dengan sehat.
Kebiasaan juga menjadi faktor penting. Sering terpapar visual makanan, terutama makanan tidak sehat, secara bertahap meningkatkan keinginan untuk mengonsumsinya. Paparan berulang ini membentuk asosiasi kuat antara makanan dan kepuasan, sehingga memicu keinginan yang kuat setiap kali kita melihat makanan tersebut.
Hipotalamus, bagian otak yang mengatur nafsu makan, juga turut berperan. Bagian otak ini dapat dipengaruhi oleh faktor visual dan emosional, sehingga memicu rasa lapar meskipun perut belum tentu kosong. Memahami peran kompleks ini penting untuk mengelola nafsu makan dan mencegah perilaku makan yang tidak sehat.

Dampak Lapar Mata dan Strategi Mengatasinya
Lapar mata, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan penambahan berat badan dan masalah kesehatan lainnya. Konsumsi makanan berlebihan, terutama makanan tidak sehat, meningkatkan risiko obesitas, diabetes, dan penyakit jantung. Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara lapar perut dan lapar mata.
Salah satu strategi efektif adalah makan dengan penuh perhatian. Fokus pada rasa dan tekstur makanan, makan perlahan, dan hindari makan sambil melakukan hal lain seperti menonton TV atau bermain ponsel. Dengan demikian, kita lebih menyadari jumlah makanan yang dikonsumsi dan lebih mudah merasa kenyang.
Minum air putih juga dapat membantu. Terkadang, rasa haus disalahartikan sebagai rasa lapar. Meminum air sebelum makan dapat mengurangi keinginan makan yang berlebihan. Jika rasa lapar mata tak tertahankan, pilih camilan sehat seperti buah-buahan atau kacang-kacangan sebagai alternatif.
Mengatur jadwal makan secara teratur dapat membantu mencegah rasa lapar yang berlebihan. Makan secara teratur membantu menjaga kadar gula darah tetap stabil, sehingga mengurangi keinginan untuk ngemil di luar jadwal. Selain itu, kurangi paparan visual terhadap makanan yang dapat memicu keinginan makan. Hindari melihat atau menonton video makanan yang dapat memicu lapar mata.
Puasa dan Belanja Berlebihan: Kaitan Psikologis
Puasa, meskipun bermanfaat bagi kesehatan fisik dan spiritual, seringkali memicu perilaku belanja berlebihan. Setelah menahan diri dari makan dan minum selama beberapa waktu, keinginan untuk memanjakan diri dengan makanan lezat meningkat drastis. Ini dipicu oleh kombinasi faktor fisiologis dan psikologis.
Setelah berpuasa, sensitivitas terhadap rangsangan visual makanan meningkat. Melihat makanan lezat dapat memicu pelepasan dopamin yang signifikan, menciptakan keinginan kuat untuk membeli dan mengonsumsi makanan tersebut. Kondisi ini diperparah oleh kelelahan fisik dan mental akibat puasa, yang membuat seseorang lebih rentan terhadap godaan.
Selain itu, puasa seringkali dikaitkan dengan momen perayaan atau berkumpul bersama keluarga dan teman. Dalam suasana tersebut, belanja makanan bisa menjadi bentuk hadiah bagi diri sendiri atau ungkapan kebahagiaan. Namun, jika tidak dikendalikan, hal ini bisa berujung pada pengeluaran yang berlebihan.
Oleh karena itu, penting untuk merencanakan pengeluaran dengan bijak selama dan setelah menjalani puasa. Buat daftar belanja yang terencana, hindari berbelanja dalam keadaan lapar atau lelah, dan cari alternatif kegiatan yang lebih sehat dan produktif untuk mengatasi keinginan belanja yang berlebihan.

Baik lapar perut maupun lapar mata, keduanya berkaitan dengan keinginan untuk makan, namun dengan penyebab yang berbeda. Lapar perut merupakan kebutuhan fisiologis tubuh, sementara lapar mata dipicu oleh faktor psikologis dan emosional. Memahami perbedaan ini penting untuk menjaga pola makan sehat dan menghindari penambahan berat badan yang tidak diinginkan, termasuk kebiasaan belanja berlebihan setelah berpuasa. Dengan strategi yang tepat, kita dapat mengelola keinginan makan dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan fisik dan kepuasan emosional.