5 Fakta ekonomi Indonesia lebih rentan krisis dibanding Malaysia
Indonesia terlalu banyak menyimpan dana asing.
Malaysia belakangan ini menjadi sorotan dunia karena memimpin pelemahan nilai tukar negara di Asia terhadap dolar Amerika (USD). JPMorgan Asia Dollar Index pernah melacak pergerakan 10 mata uang sepanjang Agustus 2015, termasuk Yen yang melemah 2,6 persen terhadap USD. Ini merupakan penurunan bulanan terbesar sejak 2012.
Ringgit Malaysia anjlok paling parah mencapai 8,7 persen terhadap USD, dan ini merupakan kinerja terburuk sejak 1998 silam. Skandal politik yang melanda Malaysia melemahkan kepercayaan investor, selain itu rendahnya harga komoditas juga menghantam negeri jiran.
-
Bagaimana Pejuang Rupiah bisa menghadapi tantangan ekonomi? "Tidak masalah jika kamu bekerja sampai punggungmu retak selama itu sepadan! Kerja keras terbayar dan selalu meninggalkan kesan abadi."
-
Bagaimana kondisi ekonomi Indonesia di era Soekarno? Dalam buku berjudul 'Jakarta 1950-1970', seorang dokter bernama Firman Lubis mengutarakan kondisi ekonomi Indonesia saat itu amat kacau. "Inflasi melangit dan menyebabkan nilai rupiah merosot tajam dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai gambaran, ongkos naik bus umum yang pada tahun 1962 masih Rp1 berubah menjadi Rp1000 pada tahun 65,"
-
Apa yang terjadi pada nilai tukar rupiah ketika Indonesia mengalami hiperinflasi di tahun 1963-1965? Di tahun 1963 hingga Soekarno lengser sebagai Presiden tahun 1965, Indonesia mengalami hiperinflasi sebesar 635 persen dengan nilai tukar rupiah saat itu berkisar Rp11 per USD1.
-
Kenapa Presiden Sukarno merasa kesulitan keuangan? "Adakah seorang kepala negara lain yang melarat seperti aku hingga sering meminjam uang dari ajudan?' kata Sukarno. "Dalam hal keuangan aku tidak mencapai banyak kemajuan sejak zaman Bandung," tambahnya.
-
Apa penyebab utama devaluasi mata uang Indonesia? Dalam tujuh tahun terakhir, mata uang Indonesia belum mengalami perbaikan yang berarti. Faktor-faktor yang menyebabkan devaluasi mata uang Indonesai di antaranya adalah berkurangnya cadangan devisa. Mengingat Indonesia sangat bergantung pada pasar ekspor, jatuhnya harga komoditas telah semakin menurunkan nilai mata uangnya.
-
Mengapa nilai tukar rupiah menjadi sangat tinggi terhadap dolar di era Soeharto? Sebab, inflasi Indonesia yang terbilang masih cukup tinggi tidak sebanding dengan mitra dagangnya. Akhirnya nilai tukar rupiah menjadi sangat tinggi terhadap dolar dan tidak ada negara yang mau bermitra dengan Indonesia.
Lebih baik dari Ringgit Malaysia, nilai tukar Rupiah hanya turun 3,7 persen terhadap USD dan merupakan terburuk dalam 11 bulan terakhir. Sedangkan Yuan hanya anjlok 2,7 persen terhadap USD.
Namun demikian, nilai tukar Rupiah masih melanjutkan pelemahan. Perdagangan kemarin, nilai tukar Rupiah menyentuh level Rp 14.280 per USD atau terendah sejak Juli 1998 saat krisis keuangan melanda Asia.
Dilansir dari CNBC, melemahnya nilai tukar Rupiah terjadi karena melemahnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya penghindaran risiko yang meredupkan daya tarik aset negara.
Kegiatan ekonomi melemah dan ditambah lagi kekhawatiran reformasi yang mengulur-ulur. Akibatnya, investasi asing belum meningkat secepat yang diharapkan pemerintah.
Terlepas dari data nilai tukar, kondisi ekonomi Indonesia disebut jauh lebih rentan terhadap krisis. Berbagai fakta diungkap lembaga pemeringkat asing Standard & Poor (S&P).
Berikut uraiannya seperti dilansir merdeka.com dari media Malaysia, Thestar di Jakarta, Selasa (8/9):
Dana asing kabur ke luar negeri
Fakta pertama yang diungkap Standard & Poor (S&P) adalah soal arus modal atau dana asing yang ada di Indonesia. S&P menyebut Indonesia sangat rentan dengan arus modal masuk dan arus modal keluar. Hal ini sangat berisiko karena akan menggerus cadangan devisa negara.
"Malaysia lebih sedikit ketergantungan pada modal asing dibanding korporasi atau bank untuk mendanai pertumbuhan. Sedangkan Indonesia lebih rentan terhadap perubahan arus keluar dan arus masuk. Kami khawatir tentang cadangan devisa Indonesia," ucap Direktur S&P, Kyran Curry di Singapura seperti dilansir dari media Malaysia, Thestar, Jakarta, Selasa (8/9).
Cadangan devisa Indonesia anjlok hampir 7 persen dalam lima bulan belakang. Curry mengaku khawatir dengan otoritas moneter Indonesia yang baru-baru ini karena telah menghabiskan banyak cadangan devisa untuk menstabilkan volatilitas mata uang, Rupiah.
Pasar saham Indonesia anjlok lebih dalam
Fakta kedua yang diungkap S&P soal perekonomian Indonesia adalah menyangkut pasar modal. Menurut lembaga pemeringkat ini, pasar modal Indonesia anjlok tajam melebihi pasar saham Malaysia. Meski Ringgit Malaysia melemah paling parah, namun pasar sahamnya masih jauh lebih baik dibanding Indonesia.
Data S&P menyebut, Rupiah telah melemah hingga 4,9 persen sejak akhir Juli atau masih lebih rendah dibanding pelemahan Ringgit Malaysia yang mencapai 11 persen. Namun demikian, saham Indonesia dan obligasi internasional disebut jatuh lebih cepat dari Malaysia dalam tiga bulan terakhir.
Bahkan pemerintah Indonesia disebut membeli kembali obligasi negara dan mendorong BUMN untuk membeli saham untuk membendung penurunan. "Pasar modal Malaysia jauh lebih besar dan lebih dalam," katanya.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) disebut telah turun 15 persen dalam tiga bulan terakhir.Sedangkan pasar saham Malaysia hanya 10 persen saja. Obligasi mata uang lokal kedua negara juga turun, di mana Malaysia hanya turun 0,7 persen dan Indonesia jatuh 1 persen menurut Bloomberg Indeks.
Current account Indonesia defisit
Tidak hanya S&P, BMI Research juga menyebut ekonomi Indonesia rentan terhadap krisis. salah satu alasannya adalah defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit.
Head of Asia country risk and financial markets strategy at BMI Research, Stuart Allsopp di Singapura mengatakan, meski mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, Malaysia masih mencatat surplus current account sebesar USD 1,8 miliar pada kuartal II-2015. Sementara Indonesia mencatat defisit sebesar USD 4,4 miliar.
Tidak hanya itu, Allsopp juga mengatakan, berbeda dengan Indonesia, Malaysia juga memiliki posisi investasi internasional yang positif.
"Ini berarti jika USD menguat karena kenaikan suku bunga The Fed, Indonesia akan kesulitan membayar utang luar negeri karena nilainya meningkat. Dalam kasus Malaysia, nilai aset eksternal malah akan meningkat, sehingga dampaknya sangat kecil," kata Allsopp seperti dilansir dari media Malaysia, Thestar di Jakarta, Selasa (8/9).
Indonesia terlalu banyak dana asing
Data S&P menyebut, sepanjang tahun ini dana asing yang telah keluar dari pasar saham Indonesia atau capital outflow mencapai USD 467 miliar atau setara RM 2,02 miliar. Sedangkan dana asing yang masuk pada 2014 mencapai USD 3,8 miliar.
Jika dibandingkan dengan Malaysia, dana yang keluar dari pasar saham mencapai RM 16,4 miliar pada 2015. Sedangkan tahun lalu dana asing yang keluar mencapai RM 6,9 miliar.
Dari data di atas, dana asing yang masuk ke Indonesia sangat besar atau mencapai USD 3,8 miliar karena yield atau imbas hasil surat utang Indonesia cukup besar dan menarik investor asing untuk masuk.
Namun kondisi ini rentan ketika asing membawa 'kabur' uang mereka. Kini, investor asing menguasai hampir 38 persen surat utang Indonesia dan ini lebih besar dari Malaysia yang hanya 32 persen.
"Malaysia tidak pernah merasakan aliran dana masuk secara besar-besaran, sedangkan Indonesia banyak beberapa tahun terakhir," ujar Direktur S&P, Kyran Curry.
Peringkat surat utang Indonesia lebih rendah dari Malaysia
Peringkat utang Indonesia maupun Malaysia dari S&P saat ini masih belum menghadapi ancaman yang sangat serius. Namun, lembaga pemeringkat ini belum memberikan 'gelar' investment grade pada Indonesia.
Namun demikian, peringkat Malaysia lebih baik dari Indonesia. Indonesia hanya mendapatkan peringkat yang terbaik di antara terburuk atau BB+. Sedangkan peringkat utang Malaysia kini sudah lebih tinggi yaitu A- dengan outlook stable.
Outlook Indonesia disebut bisa berubah positif jika pemerintah bisa memperbaiki ketidakseimbangan makroekonomi.
Di lain pihak, Barclay Plc merekomendasikan kliennya untuk menghindari obligasi Malaysia dan netral terhadap Indonesia. Ahli strategi Barclays, Rohit Arora mengatakan, dari segi perdagangan, Malaysia cukup berisiko karena anjloknya harga komoditas.
"Kami sama sama prihatin dengan kedua negara ini. Tapi dari sisi perdagangan dan perputaran pelemahan harga komoditas, maka Ringgit Malaysia lebih rentan dari pada Rupiah. Di Indonesia, pasar (saham) domestik masih belum cukup dalam, jadi masih tergantung dengan asing," katanya.
Ketergantungan pada dana asing tersebut sangat rentan ketika bank sentral AS menaikkan suku bunga dan perlambatan ekonomi China memburuk.