60,66 Persen Masyarakat Tempati Rumah Tak Layak Huni, Ini Sebabnya
Berdasarkan data BPS mencatat di 2022 baru 60,66 persen rumah tangga di Indonesia yang menempati rumah yang layak.
Kebutuhan akan kepemilikan perumahan rakyat masih besar di Indonesia.
60,66 Persen Masyarakat Tempati Rumah Tak Layak Huni, Ini Sebabnya
Direktur Jenderal (Dirjen) Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Diana Kusumastuti mengatakan, backlog perumahan atau kesenjangan kepemilikan perumahan rakyat masih sebesar 12,1 juta.
- Dulu Miskin Tak Punya Rumah, Pria Kediri Ini Sukses Jadi Juragan Tabulampot Pembelinya dari Seluruh Indonesia
- Pertama di Indonesia, Pemkot Solo Mulai Bangun Rumah DP 0 Persen untuk ASN
- Data PUPR: 12,7 Juta Orang Indonesia Tak Punya Rumah, Tiap Tahun Bertambah 740.000 Orang
- 34 Juta Data Paspor Orang Indonesia Diduga Bocor dan Dijual seharga Rp 150 Juta
"Backlog kepemilikan rumah yang masih cukup besar ini diperkirakan 12,1 juta rumah tangga. Jadi, masih banyak yang harus kita kejar. Masih banyak tugas kita bersama, bukan hanya tugas Pemerintah," kata Diana dalam Diskusi Indonesia Housing Forum 2023, di FKUI, Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Merdeka.com
Masih tingginya backlog kepemilikan rumah tersebut membuat banyak masyarakat Indonesia belum mampu menghuni rumah yang layak.
Berdasarkan data BPS mencatat di 2022 baru 60,66 persen rumah tangga di Indonesia yang menempati rumah yang layak.
"Hingga saat ini masih ada masyarakat Indonesia yang belum menghuni rumah yang layak," ujarnya.
"Sangat sulit untuk lahan ini, karena makin lama makin mahal lahan ini. Harga lagan yang makin mahal ini membuat harga rumah pun menjadi tidak terjangkau bagi MBR, terutama di kota-kota besar dengan tingkat urbanisasi yang tinggi," katanya.
Faktor kedua, penambahan penghasilan tidak mampu mengejar kenaikan harga rumah.
Menurutnya, harga lahan makin mahal sementara penambahan penghasilan ini tidak mampu mengejar kenaikan harga lahan tersebut. Akibatnya pembangunan perumahan semakin merambah pingiran kota, dengan harga yang masih terjangkau.
Selanjutnya, faktor ketiga yakni timbulnya permasalahan transportasi, alih guna lahan, serta permasalahan sosial dan ekonomi lainnya karena tempat tinggal jauh dari tempat kerja. Hal itu dampak dari pembangunan perumahan yang merambah pinggiran kota.
"Akhirnya wara wiri transportasi yang banyak dan bahkan menyebabkan polusi," ujarnya.
Terakhir, akses terhadap pembiyaan perumahan melalui perbankan masih terbatas, khususnya bagi pekerja informal.
"Sekitar 60 persen pekerja di Indonesia itu bekerja di sektor informal, namun baru sebagian kecil saja yang bisa menikmati akses pembiyaan perumahan dari perbankan. Ini kalau bisa ditingkatkan lagi," jelasnya.
Dia menjelaskan, kriteria rumah layak huni menurut Sustainable Development Goals (SDGs) ada empat. Pertama, ketahanan bangunan.
Kedua, kecukupan luasannya per kapita. Kriteria ketiga yakni akses air minum yang layak. Keempat, yakni terdapat akses sanitasi yang layak.
"Ini semuanya harus terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap rumah layak masih belum bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah," pungkasnya.
Reporter: Tira Santia
Sumber: Liputan6.com