Amerika Terancam Resesi, Dampaknya akan Mengerikan bagi Indonesia
Penurunan suku bunga AS umumnya digunakan untuk merangsang ekonomi ketika ada ancaman resesi.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan kekhawatirannya mengenai indikasi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve Amerika Serikat (AS). Ini menunjukkan adanya potensi resesi yang bisa mempengaruhi perekonomian global, termasuk Indonesia.
Bhima menuturkan, penurunan suku bunga AS umumnya digunakan untuk merangsang ekonomi ketika ada ancaman resesi.
"Tapi begini, suku bunga Amerika Serikat yang diperkirakan akan turun, fed rate, itu indikasi kurang bagus. Karena justru mengindikasikan Amerika sebentar lagi ada ancaman resesi. Sehingga Bank Sentral buru-buru memotong suku bunganya untuk menggerakkan pekonomian," kata Bhima kepada media, Jakarta, Kamis (22/8).
Menurutnya dampak dari potensi resesi di AS akan mempengaruhi Indonesia, terutama pada sektor ekspor. Bhima mengingatkan agar tidak terlena dengan pergerakan positif sementara di pasar modal dan pasar valuta asing yang mungkin memperkuat rupiah dalam jangka pendek.
"Jadi blessing in disguise, masuknya dana asing sekarang, ini sangat-sangat temporer. Lagi besar, lagi banyak. Bukan, karena fundamental kita itu sedang bagus," ujarnya.
Pertumbuhan ekonomi jauh di luar target Prabowo
Dia juga menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan hanya mencapai 5,2 persen pada tahun 2025, jauh dari target perekonomian Prabowo Subianto yang sebesar 8 persen, menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara harapan dan realitas ekonomi.
"Karena tekanannya baru akan terasa tahun depan. Ekonomi China melambat, Amerika Serikat, itu juga tadi ada ancaman resesi, dan kita juga tahu yang terjadi November nanti, kalau Donald Trump terpilih lagi gimana? Di Amerika Serikat. Kemudian mereka melakukan proteksi dagang, efeknya juga ke kita. Geopolitik juga masih belum pasti," jelas Bhima.
Bhima menilai, jika tekanan global baru akan terasa pada tahun depan, patokan rupiah di level Rp16.100 per dolar AS, bisa dianggap wajar untuk antisipasi. Namun, tantangan dari isu-isu geopolitik dan proteksionisme perdagangan harus diperhatikan.
"Saya pikir makanya ini kita nggak bisa mengambil konklusi, oh rupiah menguat, ini ekonomi kita lagi stabil dan lain-lain. Enggak, ini hanya limpahan yang sifatnya temporer," pungkasnya.