Arif Budimanta: Dalam UU Cipta Kerja, Semua Perizinan Berbasis Risiko
Arif menjelaskan stimulus untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5%
Arif menjelaskan stimulus untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5%
Arif Budimanta: Dalam UU Cipta Kerja, Semua Perizinan Berbasis Risiko
“Upaya pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi ini, salah satunya melalui akselerasi penerapan UU Cipta Kerja dengan segala aturan turunannya," jelas Arif.
Arif menjadi narasumber dalam focus group discussion yang mengusung tema ‘Reformasi Penerbitan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha’ di Medan.
Di hadapan kurang lebih 70 peserta FGD, Arif menjelaskan, stimulus untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5% membutuhkan reformasi struktural.
Sejak adanya UU Cipta Kerja, Arif menambahkan, ada upaya untuk mereformasi secara struktural, di mana undang-undang ini memberikan kemudahan, pemberdayaan. Sekaligus perlindungan kepada dunia usaha.
“Dalam UU Cipta Kerja semua perizinan berbasis risiko, hal ini menjadi suatu terobosan baru yang lebih sistematis. Risiko itu menyangkut lingkungan, keselamatan manusia, serta aspek sosial lainnya,” ujar Arif.
- Optimisme BRI Pada Kebijakan Ekonomi di Era Pemerintahan Baru
- Ketua OJK Prediksi Ekonomi 2025 Masih Penuh Ketidakpastian, China Pegang Kartu Truf
- Bos BI Pede Ekonomi Indonesia di Kuartal II Tetap Terjaga, Ini Alasannya
- Staf Ahli Wakil Presiden sebut Ketidakpastian Situasi Politik Akibat Pemilu 2024 Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Lebih lanjut, Arif menekankan, bahwa dalam era 4.0, semua permohonan yang berkaitan dengan perizinan harus mulai beralih dari manual menjadi digital.
“Instrumen yang ada dalam perizinan itu ada instrumen sistem, yaitu OSS-RBA(Online Single Submission - Risk Based Approach). Adanya OSS ini, menjadi dorongan agar masyarakat, khususnya pemohon paham akan tata cara penggunaannya secara digital,” jelas Arif.
Arif melanjutkan, sistem tersebut tidak akan terintegrasi dengan baik jika tidak ada kerjasama yang solid antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta penerima manfaat.
“Hal ini karena integrasi sistem membutuhkan integrasi aturan, jadi aturan itu tidak hanya berada di tingkat Kementerian saja, daerah pun perlu mengeluarkan Perda atau Perkada yang sejalan dengan peraturan pusatnya,” tambah Arif.
Arif mendorong para peserta FGD untuk melakukan diskusi secara terbuka, serta memberikan usulan-usulan yang solutif demi menciptakan forum yang kritis dan dinamis.
“Melalui FGD ini, kami (Satgas UU Cipta Kerja) sedang melakukan monitoring akan implementasi pelayanan perizinan berusaha di lapangan. Apakah sudah baik atau memang masih memerlukan perbaikan, sehingga dibutuhkan forum yang kritis dan solutif,” terang Arif.
Sementara itu, Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang Kementerian ATR/BPN Rahma Julianti menjelaskan, perizinan dasar KKPR sekarang menjadi semakin mudah.
Kemudian, yang paling penting memberikan kepastian kepada pemohon.
Walaupun secara aturan sudah mengalami perbaikan, tetapi menurut Rahma, masih ada beberapa isu yang sering dihadapi saat pelaksanaannya.
“Isu pelaksanaan KPPR secara umum ada tiga aspek, pertama dari segi SDM, masih ada pemohon yang belum paham terkait proses bisnis pelayanan penerbitan KKPR,” ungkap Rahma.
Isu lainnya, Rahma menjelaskan, ada dari aspek teknis pelaksanaannya, di mana ada ketidaksesuaian KKPR otomatis hasil dari pernyataan mandiri pelaku usaha dengan rencana tata ruang dan tingkat risiko kegiatannya.
Serta dari aspek Sistem Elektronik Pelayanan KKPR, seperti masih terjadi error di sistem OSS.
“Ada 4 strategi percepatan pelayanan KKPR, yaitu percepatan penyusunan RDTR, pembangunan dan pemanfaatan pusat data nasional, peningkatan kualitas SDM pelayanan KKPR, serta sosialisasi dan edukasi masyarakat dalam ekosistem digital layanan KKPR,” ujar Rahma.