Awal Mula Krisis Populasi Korea Selatan Ternyata Dimulai dari Tahun 60-an
Krisis populasi Korea Selatan sebenarnya berakar dari kebijakan keluarga berencana.
Korea Selatan, yang pernah menjadi simbol keajaiban ekonomi Asia, kini menghadapi ancaman eksistensial akibat penurunan angka kelahiran yang dramatis. Jika tren ini terus berlanjut tanpa adanya perubahan signifikan, negara ini bisa menjadi yang pertama di dunia yang menghilang akibat populasi yang menyusut drastis.
Dilansir dati The Economic Time, krisis populasi Korea Selatan sebenarnya berakar dari kebijakan keluarga berencana yang diterapkan pada tahun 1960-an. Saat itu, pemerintah khawatir dengan laju pertumbuhan penduduk yang melampaui kapasitas ekonomi negara. Dengan angka kelahiran mencapai 6 anak per wanita, program pengendalian kelahiran mulai diberlakukan.
- Survei: Hubungan Percintaan Masyarakat Jepang dan Korea Paling Rendah Sedunia
- Populasi Korea Kembali Meningkat Setelah Dua Tahun Berturut-Turut Alami Tren Penurunan
- Angka Kelahiran di Korsel Rendah hingga Jadi Krisis Nasional, Begini Langkah Cepat Presiden Yoon
- Populasi di Dunia Kian Bertambah, Ancaman Krisis Pangan Semakin Nyata
Keberhasilan program ini menyebabkan angka kelahiran turun hingga mencapai tingkat penggantian (2,1 anak per wanita) pada tahun 1983. Namun, penurunan ini terus berlanjut hingga saat ini.
Pada tahun 2023, angka kelahiran anjlok menjadi 0,7 anak per wanita, yang terendah di dunia. Jika tidak ada intervensi, populasi Korea Selatan diproyeksikan menyusut dari 52 juta menjadi hanya 17 juta pada akhir abad ke-21.
Mengapa Wanita Korea Selatan Menunda Punya Anak?
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran, mulai dari insentif keuangan, keringanan pajak, hingga kebijakan unik seperti membebaskan laki-laki dari wajib militer jika memiliki tiga anak sebelum usia 30 tahun. Namun, langkah-langkah ini belum membuahkan hasil.
Alasan utama terletak pada perubahan sosial dan budaya yang mendalam. Banyak wanita Korea, khususnya di daerah perkotaan, memilih untuk mengejar pendidikan tinggi dan karier dibandingkan membentuk keluarga.
Survei pemerintah tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen wanita menyebut beban mengasuh anak sebagai hambatan terbesar mereka untuk bekerja dan memiliki anak.
Selain itu, ketidaksetaraan gender di rumah tangga semakin memperburuk keadaan, dengan perempuan secara signifikan lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah dibanding laki-laki.
Ketidakseimbangan Gender yang Memicu Frustrasi
Kesenjangan gender di Korea Selatan tercermin dalam peringkat global. Negara ini berada di posisi ke-94 dari 146 negara dalam hal kesetaraan gender.
Di sektor ekonomi, pendidikan, hingga politik, perempuan Korea Selatan masih menghadapi diskriminasi yang cukup mencolok. Hal ini menimbulkan kekecewaan besar terhadap institusi pernikahan dan keluarga tradisional.
Hasil survei terbaru bahkan mengungkap bahwa sepertiga perempuan di Korea Selatan tidak ingin menikah.
Dari mereka yang tetap menikah, banyak yang menuntut pembagian tanggung jawab yang lebih adil dalam mengasuh anak dan mengurus rumah tangga.
Peran Imigrasi dalam Menyelamatkan Populasi
Sementara banyak negara maju menggunakan imigrasi untuk mengatasi penurunan populasi, Korea Selatan belum berhasil menarik imigran dalam jumlah signifikan.
Pendatang asing hanya mencakup 4 persen dari angkatan kerja negara ini, angka yang jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Barat.
Salah satu solusi yang berkembang adalah migrasi pernikahan, di mana pria Korea, terutama di pedesaan, menikah dengan wanita dari negara lain seperti Vietnam.
Namun, dinamika ini tidak sepenuhnya positif. Wanita migran sering menghadapi tantangan ekonomi dan sosial, seperti ketidaksetaraan pendapatan dan kontrol finansial yang cenderung dipegang oleh suami.