Barang Plastik Impor dari China Dijual Lebih Murah, Industri Butuh Proteksi Pemerintah
Masuknya barang impor plastik secara masif berpotensi mengganggu kinerja industri hilir plastik domestik.
Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) dan Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) menegaskan bahwa pengetatan impor barang jadi plastik bisa memproteksi sektor hilir industri tersebut.
Sekretaris Jenderal Aphindo, Henry Chevalier mengatakan, masuknya barang impor plastik secara masif berpotensi mengganggu kinerja industri hilir plastik domestik. Hal itu dikarenakan produk impor lebih diminati karena memiliki harga yang lebih murah.
"Barang-barang jadi yang masuk ke Indonesia jauh lebih murah dibandingkan dengan produk dalam negeri," kata dia dikutip dari Antara, Selasa (16/7).
Dia menjelaskan salah satu negara pemasok barang impor yang lebih murah ke Indonesia yaitu China. Alasan barang yang dijual oleh negara tersebut lebih murah dikarenakan upah pekerja (labour cost) yang diterapkan di negara itu lebih rendah, serta adanya ketersediaan bahan baku yang cukup tinggi.
- Indonesia Impor Plastik USD 233 Miliar di Kuartal I-2024, Produsen Dalam Negeri Baru Mampu Penuhi 60 Persen Kebutuhan
- Tujuh Produk Impor Disinyalir Bahkan Matikan Usaha Dalam Negeri, Pemerintah Akhirnya Ambil Langkah Begini
- Diserang Produk Impor, Industri Manufaktur Butuh Aturan Perlindungan
- Impor Indonesia di Bulan Maret Turun 2,60 Persen
Oleh karena itu, pihaknya ingin supaya pemerintah menerapkan pengetatan impor khususnya untuk barang jadi plastik di setiap regulasi yang dibuat, terlebih apabila produk tersebut sudah diproduksi oleh industri domestik.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Inaplas, Fajar Budiono menyampaikan, pihaknya sepakat dengan Aphindo supaya pemerintah melakukan pengetatan pabean impor khususnya untuk barang jadi plastik di regulasi apapun, mengingat kebijakan yang kontraktif berpotensi melemahkan iklim investasi di Tanah Air yang berujung pada menurunnya kontribusi industri hulu.
Inaplas mencatat sudah ada penurunan utilisasi di industri plastik hilir hingga di bawah 50 persen, sehingga apabila hal ini dibiarkan bisa berdampak kepada industri hulu yakni petrokimia.
"Itu sudah mulai terasa juga di beberapa pabrik hulu, ada yang sudah mematikan/shut down mesinnya, mereka wait and see," kata dia.
Fajar menjelaskan dampak positif industri petrokimia berdasarkan studi kasus investasi Naptha Cracker Terintegrasi bisa memberikan output langsung pada kontribusi perekonomian sebesar Rp41,04 triliun, menyerap tenaga kerja hingga 3,22 juta orang, peredaran upah hingga Rp8,56 triliun, serta manfaat fiskal berupa pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp2,67 triliun.