Benarkah Skema Power Wheeling di RUU EBET Buat Subsidi Listrik Bakal Bengkak?
Kenaikan subsidi listrik itu berisiko muncul karena aturan power wheeling memperbolehkan pembangkit swasta untuk menjual listrik EBET.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET). Namun, yang menjadi salah satu aturan yang banyak jadi perhatian adalah skema power wheeling di bidang tenaga listrik
Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN.
- Pengembang PLTA Tak Setuju Rencana Power Wheeling Masuk RUU Energi Terbarukan, Ini Sederet Alasannya
- Benarkah Tarif Listrik Jadi Lebih Mahal Jika Produsen Swasta Boleh Gunakan Jaringan Dikelola Negara?
- Anggota DPR Sebut Skema Power Wheeling Jadi Opsi Hadirkan Industri Efisien
- Begini Peran Besar PLN Perkuat Ketahanan Energi Lewat Skema Power Wheeling
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Komisi VII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto tidak setuju liberalisasi sektor ketenagalistrikan melalui pasal power wheeling yang diusulkan masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET). Sebab, ini berisiko membebani subsidi energi dan program Pro Rakyat pada periode pemerintahan mendatang.
"Beban fiskal pemerintahan mendatang bakal bertambah karena kenaikan subsidi Listrik. Subsidi dipastikan naik lantaran harga listrik akan ditentukan mekanisme pasar," kata Mulyanto dikutip di Jakarta, Jumat (6/9).
Jika beban subsidi energi meningkat, APBN yang digunakan untuk program pemerintah baru yang prorakyat yaitu makan siang gratis serta peningkatan gaji guru berisiko terganggu.
"APBN itu kan sumber daya langka dan terbatas. Untuk itu perlu dioptimalkan dalam pembangunan kesejahteraan rakyat dalam berbagai sektor strategis," tegasnya.
Mulyanto menjelaskan, kenaikan subsidi listrik itu berisiko muncul karena aturan power wheeling memperbolehkan pembangkit swasta untuk menjual listrik EBET yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat dengan menyewa jaringan milik negara.
“Menjadikan pihak swasta dapat menjual listrik yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat, jelas-jelas adalah liberalisasi sektor kelistrikan,” tegasnya.
Menurutnya, dengan negara menguasai penuh sistem ketenagalistrikan, maka negara akan dengan leluasa mengontrol keterjangkauan tarif listrik sesuai dengan kemampuan dan daya beli masyarakat.
“Ini peran penting monopoli negara dalam sistem ketenagalistrikan yang diamanatkan oleh konstitusi agar listrik tidak dikuasai orang-perorang,” kata Mulyanto.
Percepat Pengembangan Energi Terbarukan di RI
Di sisi lain, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai diaturnya skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) akan mempercepat pengembangan dan adopsi energi terbarukan di Indonesia.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menilai aturan power wheeling untuk energi terbarukan dalam RUU EBET sepatutnya didukung para pembuat kebijakan karena dapat meningkatkan keandalan pasokan listrik, efisiensi biaya operasional, dan mendorong perluasan jaringan listrik.
Meski begitu, IESR berpandangan, dalam rangka mencapai tujuan NZE 2060 atau lebih awal, pemanfaatan jaringan bersama harus dibatasi hanya untuk pembangkitan energi terbarukan sehingga menjadi power wheeling energi terbarukan (renewable power wheeling).