BI sebut pelemahan Rupiah lebih parah dibanding Baht Thailand
Namun, kata Agus, depresiasi Rupiah masih lebih rendah ketimbang mata uang Ringgit Malaysia dan Lira Turki.
Pemerintah China melakukan kebijakan pelemahan nilai tukar mata uang atau devaluasi Yuan terhadap Dolar Amerika Serikat. Kebijakan tersebut membuat pasar keuangan bergejolak dan berdampak pada nilai tukar mata uang negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan pemerintah China sudah melakukan dua kali pelemahan nilai tukar mata uang Yuan yaitu 1,9 persen pada 11 Agustus 2015 dan 1,6 persen pada 12 Agustus 2015. Pelemahan tersebut membuat nilai tukar Rupiah sedikit terdepresiasi.
Penyebab lainnya adalah kekhawatiran penyelesaian krisis Yunani dan kebijakan Bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga banknya. Dengan begitu, nilai tukar Rupiah telah terdepresiasi mencapai 10,16 persen hingga saat ini.
"Pelemahan tersebut lebih tinggi dari mata uang Won Korea sebesar 8,35 persen, Thailand Baht sebesar 6,62 persen dan Yen Jepang sebesar 3,96 persen," ujar dia usai rapat FKSSK di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (13/8).
Namun, kata Agus, depresiasi Rupiah masih lebih rendah ketimbang mata uang Ringgit Malaysia dan Lira Turki. Mata uang Ringgit Malaysia mengalami pelemahan 13,16 persen dan Lira Turki mencapai 16 persen.
"Sementara mata uang Brazil terdepresiasi mencapai 29,4 persen. Sedangkan, mata uang Dolar Australia terdepresiasi mencapai 10,6 persen," kata Agus.
Agus menambahkan BI akan terus menjaga stabilitas ekonomi makro dan melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk menjaga inflasi tetap sesuai dalam APBN. Selain itu, BI bakal melakukan stabilisasi di pasar valas sebagai respon hadapi tekanan yang terjadi saat ini.
"BI menempuh kebijakan pruden dalam capai target inflasi, menjaga likuiditas perekonomian di tingkat pusat dan daerah serta melakukan stabilisasi di pasar valas dan kehati-hatian dalam utang luar negeri," pungkas dia.