Biaya Hidup di Jakarta Rp15 Juta per Bulan, Ini Cara Dapat Tambahan Penghasilan
Padahal, besaran UMP DKI Jakarta tahun 2024 hanya Rp5,06 juta per bulan.
Padahal, besaran UMP DKI Jakarta tahun 2024 hanya Rp5,06 juta per bulan.
- Hitung-hitungan Biaya Hidup Layak di Jakarta Rp14,8 Juta, UMP 2025 Naik Hanya Jadi Rp5,3 Juta
- Jakarta Jadi Kota dengan Biaya Hidup Termahal di Indonesia, Begini Cara Atur Keuangan dengan Gaji UMR
- Biaya Hidup di Jakarta Rp14,8 Juta per Bulan dan UMR Hanya Rp5 Juta, Bagaimana Cara Bertahan?
- Biaya Hidup di Jakarta dan Bekasi Paling Mahal Se-Indonesia, Buruh Sebut Gaji Ideal Rp7 Juta Sebulan
Biaya Hidup di Jakarta Rp15 Juta per Bulan, Ini Cara Dapat Tambahan Penghasilan
Cara Dapat Tambahan Penghasilan di Tengah Mahalnya Biaya Hidup
Potret mahalnya biaya hidup di DKI Jakarta tercermin dari hasil Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencatat, rata-rata biaya hidup di ibu kota mencapai Rp14,8 juta per bulan atau hampir Rp15 juta per bulan.
Padahal, besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024 hanya mencapai Rp5,06 juta per bulan. Angka ini naik sekitar 3,6 persen dari tahun sebelumnya.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan, untuk mengatasi kesenjangan biaya hidup di DKI Jakarta mau tidak mau pemerintah harus secepatnya menerapkan ekonomi hijau.
Saat ini, geliat ekonomi yang bergantung pada hasil sumber daya alam (SDA) dinilai hanya menguntungkan segelintir kecil dari penduduk Indonesia.
"Kalau upah minimum ya cuma Rp5 juta, jawabannya apa? Jawabannya lebih buka banyak sekali lapangan pekerjaan hijau," ujar Bhima dalam webinar bertajuk Nasib Transisi Ekonomi Hijau di Tahun Politik, di Jakarta, Selasa (19/12).
Bhima menerangkan, kegiatan ekonomi yang hanya menggantungkan sektor SDA terbukti tidak sama sekali menguntungkan Indonesia.
Mengingat, keputusan untuk menentukan harga komoditas justru harus mengikuti harga pasar internasional.
"Jadi, sektor komoditas yang volatile (tidak menentu) yang naik turunnya juga tidak bisa kendalikan, harga batubara kita juga tidak bisa kendalikan, harga minyak mentah kita tidak bisa kendalikan, ada perang Ukraina tidak kita bisa kendalikan, perang Israel Hamas juga menyebabkan volatilitas juga di harga komoditas kita,"
beber Bhima.
Sektor komoditas SDA andalan Indonesia yang bersifat tidak menentu mengakibatkan, laju perekonomian Indonesia terganggu.
Alhasil berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat yang menjadi naik turun.
"Pendapatan masyarakat kadang naik tinggi, kadang kemudian turun sampai minus, sampai menjadi pengangguran," ungkap Bhima.
Oleh karena itu, Bhima berharap presiden terpilih pada pemilu 2024 mendatang dapat mendorong percepatan penerapan energi hijau.
Menurutnya, sudah saatnya perekonomian Indonesia tidak lagi bergantung pada sektor komoditas tambang mineral yang hanya menguntungkan segelintir orang dan justru terus mengalami tren penurunan harga.
"Kita harus move on dari ekonomi yang naik turunnya tidak bisa kita perkirakan, kapan booming harga komoditas lagi di depan, nggak ada yang tahu," kata Bhima.
"Sekarang ini kita butuh ekonomi yang lebih berkelanjutan, dan itu positif untuk menutup gap antara kebutuhan hidup layak di Jakarta, di Indonesia dengan pendapatan masyarakat saat ini,"
sambung Bhima.