Curhat Pengusaha Rokok, Produksi Turun 9 Tahun Terakhir & Ditambah Guncangan Pandemi
Utamanya akibat kenaikan cukai yang cukup tinggi per tahunnya. Apalagi sejak tahun lalu pandemi makin memperburuk situasi industri.
Pemerintah diharapkan menunda rencana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 2022. Sebab, di tengah kondisi pandemi ditambah pelemahan daya beli masyarakat, kenaikan tarif cukai dikhawatirkan menyuburkan peredaran rokok ilegal.
Alih-alih dapat tambahan pemasukan, kenaikan tarif cukai justru berpotensi menambah pengeluaran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan penindakan potensi rokok ilegal ini.
-
Bagaimana dampak cukai rokok terhadap industri hasil tembakau? "Kita dibatasi produksinya, tapi di lain pihak rokok ilegalnya meningkat. Kalau rokok ilegal menurut informasi dari kawan-kawan Kementerian Keuangan, itu hampir 7 persen. Kalau itu ditambahkan kepada produksi yang ada, pasti akan tidak turun," tuturnya.
-
Bagaimana Mendag memastikan pasokan tembakau dan cengkih untuk industri rokok? Mendag menambahkan, Kemendag akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait agar pasokan tembakau dan cengkih dapat memenuhi kebutuhan industri rokok dengan mengutamakan hasil petani dalam negeri.
-
Bagaimana Djarum berhasil menjadi perusahaan raksasa di industri rokok? Tiga tahun berikutnya, Djarum berinovasi dengan meluncurkan Djarum Filter, merek rokok pertama yang diproduksi secara mekanis. Kesuksesan ini menjadi pijakan untuk diperkenalkannya Djarum Super pada tahun 1981. Saat ini, Djarum bukan hanya menjadi perusahaan raksasa, tetapi juga menjadi pilar industri rokok dengan lebih dari 75 ribu karyawan yang berdedikasi.
-
Dimana industri rotan di Cirebon berlokasi? Deretan produk rotan berbentuk kursi kuda, miniatur sepeda, tudung saji sampai ayunan anak menghiasi toko-toko di sepanjang jalan Desa Tegal Wangi, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon.
-
Bagaimana pabrik cokelat kuno itu diubah? Pada awal abad ke-18, bangunan itu dibagi menjadi tiga bagian. Lalu sekitar 100 tahun kemudian, rumah itu diubah menjadi pabrik cokelat yang disebut Guardia (Clemente). Chocolates and pastillaje".
-
Apa yang ditemukan di pabrik cokelat kuno itu? Di dalam bangunan tersebut, arkeolog menemukan beberapa pelat timah berukir. Pelat ini digunakan untuk membuat label pada cokelat, menyebutkan coklat tersebut berasal dari pabrik Clemente Guardia. Arkeolog juga menemukan tujuh bejana keramik besar.
Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menjelaskan dalam sembilan tahun terakhir, industri hasil tembakau terus mengalami penurunan produksi. Utamanya akibat kenaikan cukai yang cukup tinggi per tahunnya. Apalagi sejak tahun lalu pandemi makin memperburuk situasi industri.
"Selama sembilan tahun terakhir, kami terus mengalami penurunan yang cukup signifikan karena setiap tahun kami dibebankan kenaikan tarif cukai, di mana beban cukai itu sudah berada di atas angka ekonomis. Apalagi pada 2020 ada kenaikan harga eceran menjadi 35 persen, ditambah dengan pandemi guncangannya makin tinggi," kata dia dikutip Kamis (16/9).
"Sebelumnya kami memperkirakan penurunan industri sebesar 15 persen tahun ini, namun kenaikan cukainya sangat tinggi dan eksesif yang malah menyebabkan rokok ilegal beredar luas di pasar," lanjutnya.
Kenaikan cukai memang memiliki kecenderungan untuk menyuburkan peredaran produk ilegal. Apalagi rokok merupakan barang konsumsi yang relatif tak dipengaruhi harga alias produk inelastis. Kenaikan harga rokok tak membuat orang berhenti merokok melainkan beralih mengonsumsi barang serupa dengan harga yang lebih murah bahkan ilegal.
"Perkiraan kami, rokok ilegal akan mengisi pasar rokok di Indonesia. Sehingga kami berharap pemerintah tidak perlu menaikkan tarif cukai, biarkan tahun depan tarifnya sama dengan tahun ini. Karena kalau cukai naik ini, perokok tidak akan berhenti merokok, mereka akan cari produk yang lebih murah atau ilegal," sambung Henry.
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menambahkan tekanan-tekanan yang ada tersebut tak hanya akan merugikan Industri Hasil Tembakau (IHT), melainkan juga berpotensi mengganggu ekonomi nasional. Sebab IHT punya kontribusi besar terhadap ekonomi Indonesia.
"Peran IHT dalam perekonomian nasional sangat penting sekali. Kemudian, kontribusinya terhadap APBN juga sangat besar 7-8 persen itu dari cukai rokok. Makanya kalau kita bicara tentang tulang punggung penerimaan negara, IHT harus dimasukkan dalam konsep wawasan ketahanan eknomi nasional, kedaulatan, dan kemandirian kita sebagai bangsa," papar Misbakhun.
Misbakhun juga menambahkan bahwa IHT merupakan industri dengan ekosistem dari hulu sampai hilir yang saling terkait. Mulai dari petani, pedagang tembakau dari yang basah sampai kering, pekerja pabrik, hingga pedagang kaki lima, pabrikan hingga investor. Semua lini tersebut memberikan sumbangsih, dan akan terdampak atas kebijakan cukai.
"Saya melihat soal target dan capaian cukai ini makin tidak rasional. Setiap tahun selalu dibebankan kepada IHT, tapi sama sekali tidak ada relaksasi ataupun pembinaan kepada petani. Ibarat sapi perah, (IHT) itu diperah terus tapi nutrisi rumput bentuk kandang minuman dan vaksinasinya tidak diperhatikan. Meski demikian target yang selalu naik selalu dapat dicapai. Ini yang harus jadi pertanyaan, beban fiskal pada IHT itu menyangkut banyak hal," pungkasnya.
Kontribusi Cukai Rokok
Sebagai informasi, pemerintah telah menaikkan target total penerimaan cukai sebesar 11,9 persen menjadi Rp 203,9 triliun di 2022. Atas dasar tersebut, tarif CHT dipastikan meningkat, sebab CHT merupakan penopang sekaligus komponen utama penerimaan cukai pemerintah yang selalu lebih dari 95 persen dari total penerimaan cukai.
Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Akbar Harfianto menyebut bahwa kontribusi cukai rokok terhadap penerimaan cukai secara keseluruhan mencapai 96 persen.
Keberadaan industri ini menjadi bantalan pendapatan negara. Tercermin dari target pendapatan cukai tahun ini mencapai Rp180 triliun dan akan kembali meningkat di tahun depan menjadi Rp203 triliun.
"Memang saat ini hampir 96 persen penerimaan cukai ini dari cukai hasil tembakau (CHT). Ini memang jadi tonggak atau pegangan kita," kata Akbar dalam diskusi Kenaikan Cukai Rokok: Antara Pembatasan Dampak Negatif dan Pemasukan Negara, Jakarta, Kamis (2/9).
Akbar mengatakan, Kementerian Keuangan terus berupaya untuk bisa mengembangkan atau memperluas ekstensifikasi cukai kelompok CHT ini. Sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai hasil tembakau memiliki cakupan yang luas seperti tembakau iris, rokok, cerutu dan HPTL. Meski begitu peran rokok tetap masih mendominasi.
"Pokoknya produk-produk yang asal cukai, rokok memang sampai saat ini masih dominan," kata dia.
Dalam payung hukum tersebut juga memiliki 2 fungsi yakni regular atau pengendalian dan budgeter atau penerimaan negara baik dari sisi konsumsi maupun produksi. Dalam hal ini, Akbar menyebut pemerintah berada di posisi netral di atas berbagai kepentingan yang ada.
"Dengan tarik menarik kepentingan, posisi pemerintah harus netral. Bagaimana kita produksi selalu kita kendalikan," kata Akbar.
Dia mengatakan, selama 5 tahun terakhir pertumbuhan produksi rokok selalu menurun. Pemerintah juga setiap tahun menaikkan cukai rokok. Hanya memang di tahun 2019 lalu pemerintah tidak menaikkan cukai rokok.
"Hanya 2019 karena enggak ada kebijakan, (pertumbuhan produksi) mengalami peningkatan, tapi di luar itu growth selalu turun. Itu langkah pengendalian," kata dia.
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)