El Nino Berpotensi Ganggu Stok Pangan Indonesia, Apa Solusinya
Fenomena iklim El Nino harus diantisipasi oleh berbagai pihak. Hal ini penting mengingat dampaknya yang luas, khususnya terhadap sektor pertanian dan pangan.
Musim Kering Ancam Stok Gula Dalam Negeri, Apa Solusinya?
Musim kekeringan atau yang dikenal El Nino telah tiba. Badan cuaca Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah mengumumkan awal dari El Nino, memperingatkan kembalinya fenomena iklim tersebut yang dapat menyebabkan lonjakan suhu global dan kondisi cuaca ekstrem.
Fenomena iklim El Nino harus diantisipasi oleh berbagai pihak. Hal ini penting mengingat dampaknya yang luas, khususnya terhadap sektor pertanian dan pangan. Langkah-langkah antisipasi yang tepat dapat meminimalisasi potensi gangguan ketersediaan komoditas pangan penting bagi masyarakat seperti gula.
- Berseragam Polri Pakai Topi Caping Petani, Intip Momen Komjen Agus Andrianto Turun ke Sawah Menanam Padi
- Fenomena El Nino Diperkirakan Bertahan hingga Pertengahan 2024, Ini Penjelasan Pakar
- Salju Abadi di Papua Terancam Punah Akibat Fenomena El Nino
- Mendag soal Fenomena El Nino: Sungai Mulai Kering, Kita Agak Khawatir soal Harga Pangan
Gula merupakan salah satu komoditas yang memiliki ketergantungan pada iklim. Fenomena iklim seperti El Nino yang berlangsung panjang berpotensi mengganggu masa panen tebu dan selanjutnya berdampak pada ketersediaan stok gula di dalam negeri.
Dengan kondisi ini maka stok gula di dalam negeri diperkirakan hanya sampai pertengahan hingga akhir September 2023.
“Kalau stok hanya pertengahan atau akhir September, mesti segera dilakukan impor gula mentah. Dugaan saya, kuota dan izin impor sudah dikeluarkan,” jelas pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori dikutip dari Liputan6.com.
Walaupun demikian, Harga Acuan Pembelian Gula (HAP) yang masih berada di level Rp12.500/kg masih menjadi hambatan bagi industri untuk mengimpor gula. Alasannya, dengan harga tersebut, industri masih mengalami kerugian sekitar Rp2.000/kg.
Impor ini juga menjadi salah satu solusi mengingat industri kecil maupun menengah yang mulai menggunakan gula konsumsi yang berpotensi menimbulkan shortage di masyarakat.
“Itu amat mungkin. Karena untuk mendapatkan gula rafinasi itu cukup rumit prosedurnya bagi UMKM. Apalagi harga cenderung tinggi saat. Penggunaan gula konsumsi sebagai bahan baku bagi UMKM sebagai pengganti gula rafinasi adalah cara mudah untuk mensiasati tidak mudahnya mendapatkan gula rafinasi,” jelas Khudori.
Selain itu, untuk mendorong agar industri mau melakukan impor dan mencegah shortage gula konsumsi di masyarakat, Harga Acuan Penjualan (HAP) gula sudah sepatutnya mengalami kenaikan. Kenaikan HAP gula ini menjadi solusi terbaik sehingga ketersediaan gula di konsumen dapat terus terpenuhi.
Pengamat ekonomi dari LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengungkapkan idealnya HAP gula berada pada angka Rp15.000- Rp16.000 per kg.
“Apabila dinaikkan ke level level Rp15.000 - Rp16.000 per Kg relatif bisa mengimbangi kenaikan harga gula di level global, sehingga berpotensi menjaga keseimbangan pasokan akibat mekanisme pasar dengan adanya penyesuaian harga di pasaran,” ungkap Riekfy.
Riefky juga menambahkan, kenaikan HAP gula yang tidak sesuai dengan kenaikan tingkat harga di level global berpotensi menimbulkan market distortion.