Haruskah Impor Garam? (2): Laut membagi adil asinnya
Indonesia menjadi negara dengan panjang garis pantai keempat terbesar di dunia. Bagaimana produksi garamnya?
Kisah Raisah, salah seorang buruh tani garam di pesisir pantai Madura, Jawa Timur, menghantarkan merdeka.com menelusuri potensi garam di negeri ini jika ditinjau dari kondisi geografis, serta mencoba menemukan akar persoalan yang sesungguhnya.
Berdasarkan survei Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) tahun 2010, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan total 13.680 pulau. Luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta kilometer dengan panjang garis pantai hingga 95.181 kilometer. Dengan fakta tersebut, Indonesia menjadi negara dengan panjang garis pantai keempat terbesar di dunia.
Sekitar 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia hidup di daerah pesisir atau di sepanjang garis pantai dengan mata pencaharian bertumpu pada kekayaan hayati laut. Potensi yang dimiliki oleh negara kepulauan sesungguhnya sangat besar dan tidak terbatas. Sebut saja garam sebagai satu dari sekian banyak komoditi yang dihasilkan dari kekayaan laut kita. Dari daftar 60 negara produsen garam terbesar di dunia, Indonesia masuk di urutan ke 30.
Di sepanjang garis pantai Indonesia, lahan potensial pembuatan tambak garam yang membutuhkan panas matahari panjang dan lahan pasir, juga cukup luas. Air laut membagi adil asinnya, untuk bisa dimaksimalkan di lahan-lahan tambak yang saat ini baru seluas 50.000 hektare. Padahal, dengan sedikit sentuhan rekayasa teknologi atap hujan, lahan tambang yang ada seharusnya bisa lebih luas lagi. Jika panjang garis pantai bisa dimaksimalkan menjadi lahan tambak, seharusnya produksi garam nasional tidak hanya mampu menjawab kebutuhan dalam negeri saja, tetapi bisa menjadi salah satu komoditi unggulan yang memberikan sumbangan terhadap penerimaan negara melalui ekspor.
Pepatah yang berbunyi “jauh panggang dari api” bisa digunakan untuk menggambarkan kondisi yang ada. Potensi dari kekayaan laut yang terbentang dari Samudera Hindia hingga Samudera Pasifik, berbanding terbalik dengan realisasinya. Kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa produksi garam nasional ternyata belum mampu menutupi kebutuhan dalam negeri. Alhasil, untuk memenuhi tingginya konsumsi garam masyarakat Indonesia dan kebutuhan garam bagi industri, pasokan dari negara lain menjadi andalan. Sejak tahun 2007, produksi garam nasional tidak lagi menjadi ujung tombak, dan terpaksa mengandalkan pasokan garam dari negara lain seperti India dan Australia.
Hasil penelusuran merdeka.com menemukan bahwa akar persoalannya bukan terletak pada potensi kekayaan alam yang begitu besar, melainkan teknis pemanfaatannya di mana mayoritas pembuatan garam di Indonesia harus diakui masih menggunakan cara tradisional, yaitu proses evaporasi atau penguapan air laut di dalam kolam penampungan. Akhirnya, produksi secara massal sangat terhambat akibat ketergantungan terhadap iklim sangat tinggi. Metode semacam ini hanya menghasilkan garam untuk dapur dan meja makan, bukan untuk keperluan industri. Cara ini tertinggal jauh jika dibandingkan dengan teknologi yang telah digunakan oleh negara lain untuk industri garam.
Belajar dari Australia sebagai salah satu negara pengekspor garam berkualitas tinggi ke Indonesia, bisa membuat tersadar bahwa panjang garis pantai tidak akan berarti apa-apa dan tidak bisa berbicara banyak untuk mencapai swasembada garam jika cara tradisional tidak ditinggalkan. Panen garam di Australia tidak hanya dari air laut, tapi juga dari danau garam, air tanah asin, danau garam kering (playa) yang berada di daerah gurun.
Maka, tantangannya yang dihadapi saat ini, bagaimana potensi yang dimiliki Indonesia bisa benar-benar dimanfaatkan secara maksimal sebagai jalan menuju swasembada garam nasional. Pemanfaatan teknologi yang menyentuh hingga petani garam, menjadi mutlak dibutuhkan untuk peningkatan kuantitas dan kualitas garam nasional. Tanpa itu, Indonesia akan selamanya bergantung pada kemurahan hari dari negara lain.