Ini 5 dampak nyata akibat proyek reklamasi dilanjutkan
Pemerintah resmi melanjutkan proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Hal ini menuai kontroversi. Sebab, proyek ini sempat dihentikan lantaran kasus hukum yang diperkarakan KPK. Bahkan, para aktivis lingkungan menilai keputusan ini sangat mengancam keberlangsungan nelayan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, resmi memutuskan kelanjutan pengerjaan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Menurutnya, semua aspek mulai dari lingkungan hingga hukum sudah tidak ada masalah.
"Semua orang terkait yang mau hadir. Kita sudah putuskan, kita putuskan ya kita lanjutin. Semua yang kita lihat yang punya dampak ditakutkan dari aspek hukum, aspek legal, lingkungan, PLN, tidak ada masalah," kata Luhut di Kantornya, Jakarta, Jumat (9/9).
-
Kenapa Nagita muncul di poster kampanye tersebut? Sebagai seorang yang masih ada darah Sulawesi Utara (yaitu) Manado, tentu bangga bisa mewakili daerah untuk membangun," tulisnya. "Namun untuk postingan yang mengatasnamakan saya sebagai Calon Wakil Gubernur, saya menyatakan belum pernah mencalonkan diri atau ajakan untuk mencalonkan," sambungnya.
-
Siapa yang terlibat dalam mempromosikan Sail Teluk Cenderawasih di Jakarta? Warga suku Papua sedang melakukan aksi menabuh gendang saat mengkampanyekan Sail Teluk Cenderawasih di Kawasan Thamrin, Jakarta, Minggu (8/10/2023).
-
Kapan Kota Tua Jakarta didirikan? Sejarah Kota Tua Jakarta berawal pada 1526, ketika Fatahillah, seorang komandan dari Kesultanan Demak, menyerang Pelabuhan Sunda Kelapa yang merupakan milik dari Kerajaan Pajajaran.
-
Kapan kata-kata promosi jualan paling efektif? "Perut keroncongan di tanggal tua? Segera datang ke outlet kami!"
-
Apa yang membuat iklan jualan kendaraan ala bapak-bapak ini lucu? Perhatikan tingkah laku para pria ini saat menjual kendaraan secara online. Sungguh membingungkan!
-
Siapa yang menggelar sejumlah promo besar-besaran dalam HUT Jakarta ke-497? Sejumlah promo besar-besaran pun digelar Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Menko Luhut menegaskan keputusan ini dibuat usai dirinya membahas bersama sejumlah pemangku kepentingan terkait.
"PLN kemarin bicara, kemudian BPPT bicara, semua ahli saya sertakan, jadi jangan kita bicara dipolitisir. Saya mau semua bicara profesional, itu semua sudah kita lakukan assessment dan kami sampai pada kesimpulan bahwa keputusan untuk melanjutkan itu yang terbaik," ujarnya.
Menko Luhut menjelaskan proyek ini menyangkut reputasi pemerintah. Sebab, rencana reklamasi Teluk Jakarta sudah ada sejak zaman Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden 52 tahun 1995 tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Mantan Menko Polhukam ini menjelaskan, pemerintah tidak memiliki alasan untuk menghentikan reklamasi pulau tersebut. Luhut menuturkan, keputusan Kementerian Kemaritiman melanjutkan reklamasi pulau G telah mempertimbangkan berbagai hal, baik dari aspek lingkungan hingga maupun hukum.
"Semua yang kita lihat yang punya dampak ditakutkan dari aspek hukum, aspek legal, lingkungan, PLN, tidak ada masalah," lanjutnya.
Bahkan, Luhut telah meninjau langsung lokasi Pulau G. Menurutnya, air di lokasi tersebut sudah tercemar lingkungan. Dengan demikian, tidak layak menjadi pusat mata pencaharian para nelayan setempat.
Akibat keputusan ini, aktivis lingkungan menolak keras kelanjutan proyek ini. Mereka membeberkan dampak-dampak yang ditimbulkan dengan adanya proyek tersebut. Berikut 5 dampaknya seperti dirangkum merdeka.com:
Rusak ekosistem laut
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati mengungkapkan dampak buruk yang terjadi akibat reklamasi teluk Jakarta. Menurut dia, ekosistem laut hingga sedimentasi bakal terganggu.
"Kalau di pulau G kan sudah jadi, terjadi sedimentasi cukup tinggi di lautnya, karena penumpukan-penumpukan pasir dan tentu saja mengganggu ekosistem," ucap Nur Hidayati yang akrab disapa Yaya kepada awak media di kantor Walhi, Tegal Parang, Jakarta Selatan, Kamis (15/9).
Akibat dari reklamasi tersebut membuat laut menjadi mengganggu proses fotosintesa makhluk hidup yang ada di wilayah tersebut.
"Sedimentasi memang membuat laut menjadi keruh dan tentu saja akan mengganggu proses fotosintesa dari plankton, atau makhluk hidup yang ada di wilayah tersebut. Itu jelas mengganggu ekosistem," lanjutnya.
Walhi menilai, apabila satu pulau reklamasi telah menimbulkan dampak yang sangat parah bagi ekosistem, jika akan dibangun 17 pulau reklamasi maka ekosistem laut akan rusak. "Kami melihat satu pulau saja menimbulkan dampak yang parah, apalagi kalau sudah di bangun ke 17-nya," imbuh Yaya.
Di samping permasalahan tersebut, Walhi akan terus menolak proyek reklamasi baik di Ibukota atau di daerah-daerah lainnya, dan melakukan upaya advokasi untuk menolak proyek reklamasi tersebut.
"Pertama secara substansinya, kami akan terus menolak proyek reklamasi di manapun di seluruh Indonesia. Kami akan melakukan upaya-upaya advokasi baik secara kebijakan atau juga secara hukum," tandas Yaya.
Luhut melawan hukum
Menko Kemaritiman, Luhut Pandjaitan, banjir kritik terkait keputusannya melanjutkan proyek reklamasi Pulau G di kawasan pantai utara Jakarta. Salah satunya oleh LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati, menyayangkan keputusan Luhut soal reklamasi khususnya Pulau G. Menurutnya, keputusan itu menunjukkan pemerintah telah gagal memahami atas hak dan lingkungan hidup.
"Kami melihat ini statement yang melawan hukum. Karena sekarang ini proses pengadilan sedang berjalan," tegas Yaya, sapaannya, di Gedung Walhi, Tegal Parang, Jakarta Selatan, Kamis (15/9).
Menurutnya, keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bulan Mei lalu soal reklamasi sudah jelas. Yakni, dihentikan sementara hingga adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
"Jelas-jelas dalam keputusan PTUN dinyatakan bahwa izin dicabut dan sampai adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya itu tidak boleh ada kegiatan. Pelaksanaan dari izin tersebut harus ditunda, pelaksanaan reklamasi itu tidak boleh dilanjutkan," lanjutnya.
Namun yang terjadi pemerintah lewat Menko Luhut malah mengeluarkan keputusan untuk melanjutkan proyek reklamasi.
"Jelas-jelas itu sudah tercantum dalam keputusan pengadilan. Tapi ini pemerintah secara sepihak mengeluarkan bahwa reklamasi akan dilanjutkan, ini menurut kami adalah upaya untuk melawan hukum. Serta contoh buruk bagi upaya-upaya penegakan demokrasi di Indonesia," keluh Yaya.
Tiru pemda tabrak aturan hukum
Di bawah kendali Luhut Pandjaitan, Kementerian Koordinator Kemaritiman memutuskan untuk melanjutkan proyek reklamasi Pulau G di Pantai Utara, Jakarta. Reklamasi Pulau G sempat dihentikan di era Rizal Ramli karena dinilai banyak melanggar aturan.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nur Hidayati menyatakan keputusan tersebut memiliki konsekuensi dan risiko.
"Risiko yang paling parah kalau pemerintah tetap berkukuh. Ini pertama tentu saja akan menimbulkan pertanyaan besar terhadap demokrasi kita apakah negara kita ini masih negara demokratis atau negara yang otoriter," kata perempuan yang akrab disapa Yaya ini kepada wartawan di kantor WALHI, Tegal Parang, Jakarta Selatan, Kamis (15/9).
Menurutnya, jika pemerintah tetap melanjutkan proyek tersebut, maka akan menjadi contoh bagi pemerintah daerah lain untuk tetap melanjutkan proyek reklamasi di daerahnya.
"Kedua pola-pola seperti ini akan ditiru oleh pemerintah daerah. Bahwa mereka akan melihat bahwa hukum akan kami tabrak saja," ucap Yaya.
Dilanjutkannya, bahwa pelaksanaan reklamasi sendiri telah melanggar hukum undang-undang. "Pelaksanaan reklamasi sendiri sudah melanggar hukum. Karena telah dikeluarkan izin, tanpa memandang peraturan yang lebih tinggi yaitu undang-undang," lanjutnya.
Ditambahkannya, apabila pemerintah ingin menciptakan tata pemerintahan yang baik di mata masyarakat, maka seharusnya reklamasi tersebut dihentikan.
"Nah proses-proses semacam ini yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Karena kita sekarang sebuah negara yang ingin terwujudnya good government yaitu tata pengelola pemerintahan yang baik. Baik di dalam lingkungan hidup, atau hal-hal lainnya yang ada di negara kita," imbuh Yaya.
Warga DKI tak punya wisata laut
Anggota Koalisi Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke, Iwan, mengeluhkan apabila reklamasi Teluk Jakarta dilanjutkan. Ini akan menghasilkan dampak kesengsaraan bagi nelayan tradisional dan masyarakat lain harus bayar melihat laut.
"Warga DKI Jakarta tidak akan pernah bisa menikmati laut, karena kalau mau wisata laut harus bayar, karena reklamasi sudah di kuasai oleh orang kapitalis," ucap Iwan di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (16/9).
"Rakyat miskin tidak bisa nikmatin laut. Karena tidak bisa nikmatin laut secara gratis dan harus mengeluarkan uang," tambahnya.
Dampak terparah kalau reklamasi berlanjut, kata dia, nelayan tradisional khususnya dari Teluk Jakarta akan musnah. "Akan banyak kesengsaraan nelayan," keluh Iwan.
Dilanjutkannya, bahwa adanya reklamasi tersebut para nelayan tradisional perlahan-lahan mulai tergusur. "Penggusuran sudah di mulai di pesisir Teluk Jakarta. Termasuk Muara Angke sudah terkena penggusuran, karena reklamasi itu," terangnya.
Diketahui, setelah sempat dihentikan kini kelanjutan reklamasi Teluk Jakarta ada keputusan. Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan memastikan bahwa reklamasi yang ditentang banyak pihak itu lanjut terus.
Pemerintah disomasi
Perwakilan aktivis lingkungan beserta nelayan dan mahasiswa mengatasnamakan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, melakukan somasi kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan. Ini dilakukan sekaligus wujud kekecewaan mereka terhadap putusan Luhut melanjutkan proyek reklamasi.
"Somasi terbuka ini kami lakukan karena tidak ada itikad baik dari Menko Kemaritiman, Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai aparat pemerintah dalam menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 193/G/LH/2015/PTUN-JKT," tegas Martin Hadiwinata, perwakilan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta Pusat, Jumat (16/9).
Di dalam somasi tersebut, terdapat putusan yang diputuskan oleh Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN), yakni terkait pembatalan surat izin reklamasi hingga memiliki kekuatan hukum tetap pada 31 Mei 2016 lalu.
"PTUN Jakarta telah menyatakan batal atau tidak sah atas Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian Izin Reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta kepada PT Muara Wisesa Samudra," ucap Martin saat membacakan isi somasi.
Luhut Pandjaitan juga diingatkan kembali bahwa PTUN Jakarta telah mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara terkait Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014.
"Atas dasar hal itu, kami berpendapat, putusan PTUN Jakarta harus dipatuhi setiap orang di wilayah Negara Republik Indonesia, ada pertimbangan dalam penundaan pelaksanaan reklamasi Pulau G, dan tidak ada alasan bagi Saudara (Luhut) untuk melanjutkan proyek reklamasi sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap," tandas Martin.
Â
(mdk/sau)