Ini Saran untuk Pemerintah yang Ingin Buat Harga Acuan Sawit Indonesia
Sahat mendukung keras rencana tersebut, dengan catatan pengelola bursa komoditi itu berasal dari pihak independen yang tidak menggeluti bisnis sawit.
Program Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dalam membentuk indeks/bursa harga acuan sawit mendapat dukungan dari Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga.
Sahat mendukung keras rencana tersebut, dengan catatan pengelola bursa komoditi itu berasal dari pihak independen yang tidak menggeluti bisnis sawit.
-
Kenapa KEK Singhasari penting? KEK Singhasari berkonsentrasi pada platform ekonomi digital untuk bersinergi dengan perkembangan antara bisnis pariwisata dan ekonomi digital.
-
Kenapa Wa Kepoh begitu digemari pendengar? Kehadirannya selalu ditunggu para pendengar, karena gaya mendongeng yang disampaikan unik. Wa Kepoh bahkan bisa menirukan banyak suara tokoh dan membuat suasana cerita jadi hidup meski hanya mengandalkan audio.
-
Kenapa materai penting? Penggunaan meterai memberikan kekuatan hukum pada dokumen dan menjadikannya sah di mata hukum. Selain itu, materai membantu mencegah pemalsuan atau penyalahgunaan dokumen dengan memastikan bahwa dokumen tersebut telah melalui proses administrasi yang benar.
-
Kenapa Pemilu penting? Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-
Apa itu kambing kendit? Kambing kendit adalah salah satu jenis kambing yang memiliki ciri fisik yang unik. Tubuhnya kecil dan pendek dengan warna tubuh yang dominan putih dan hitam. Kambing kendit memiliki bulu yang keriting dan tanduk yang pendek, membuatnya mudah dikenali di antara jenis kambing lainnya.
-
Kenapa Kulat Pelawan mahal? Jika dijual, Kulat Pelawan amat mahal, harganya bisa mencapai jutaan rupiah per kilogram. Proses pertumbuhan jamur ini konon terbilang sulit, karena harus menunggu sambaran petir. Semakin jarang ditemukan, makin tinggi juga harganya di pasaran.
"Saya sangat setuju. Itu perlu didukung. Yang persoalannya adalah kalau ada bursa komoditi ini, itu pengelolanya jangan ikut campur yang berbisnis sawit. Jadi harus ada independent part," kata Sahat saat ditemui di kantor KPPU, Jakarta, Jumat (20/11).
"Kalau tidak (dikelola oleh pengusaha non-sawit), ya itu udah tidak benar. Itu yang perlu dicegah," tegas dia.
Selain itu, Sahat menambahkan, bursa acuan sawit juga harus ikut menyimpan stok fisik, baik untuk minyak sawit mentah (CPO) maupun produk turunannya.
"Badannya itu fisik stok. Jadi tidak hanya kertas, tapi juga aktivitas dalam hal physical transaction. Nah itu baru bisa jalan," ungkap dia.
Sehingga, Sahat menekankan, stok simpanan tersebut bisa menjaga harga acuan sawit ketika harga CPO di pasar internasional yang mengacu kepada Malaysia (MDEX) dan Rotterdam bergejolak.
"Simpan stok enggak harus nasional, tapi ada beberapa lokasi tertentu di mana dia punya tangki-tangki untuk tempat penyimpanan. Untuk jaga ketahanan harga," ujar Sahat.
Indonesia Berdaulat
Menurut dia, pembentukan bursa acuan sawit bakal membuat Indonesia berdaulat tentukan harga komoditas tersebut. Namun, pemerintah dinilainya perlu membuat kebijakan yang membatasi porsi penjualan yang masih berorientasi pada pasar ekspor.
"Pola bisnis sawit kita itu 40 persen domestik, 60 persen ekspor. Kalau saya sarankan, selama kita tergantung pada volume ekspor, itu akan sulit berjalan," ujar Sahat.
Oleh karena itu, dia mendorong Kementerian Perindustrian dan Kementerian Investasi/BKPM untuk membuat regulasi supaya pelaku industri sawit bisa fokus pada pasar domestik, dan membatasi kuota ekspor.
Berdasarkan catatannya, harga sawit di dalam negeri berkisar USD 200-700 per ton lebih murah dari harga ekspor. Sahat lantas membuat pengibaratan, keuntungan yang didapat dari penjualan di pasar domestik dan ekspor sebenarnya sama, tapi bisa lebih cuan di dalam negeri karena bisa menjual dengan volume lebih besar.
"Anggap rata-rata (keuntungan) USD 400 (per ton). Jadi kalau harga di luar negeri USD 1.100 per ton, harga dalam negeri USD 700. Biaya memproduksi produk A katakanlah USD 300. Berarti kalau di dalam negeri saya beli USD 800, harga saya jual USD 1.100," paparnya.
"Sedangkan kalau di luar negeri USD 1.100 jadi USD 1.400, mana lebih menguntungkan? Yang di dalam negeri kan," kata dia.
Sehingga, dia meminta agar kuota penjualan sawit diubah menjadi 60 persen dalam negeri, 40 persen ekspor. "Atau kalau bisa 65:35," desaknya.
Reporter: Maulandy Rizky Bayu Kencana
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)