Jangan Sampai Rugi, Ini Tips Investasi Tepat Sasaran di Tengah Tingginya Inflasi
Perlu digarisbawahi, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Menanggapi fenomena ini, Gita justru melihat sebuah peluang jangka panjang untuk berinvestasi.
Sejak pandemi melanda dunia, sejumlah sektor bisnis morat-marit karena inflasi. Rupanya, hal ini pun terjadi di Indonesia. Meski demikian, inflasi seharusnya tidak membatasi orang yang melek literasi keuangan untuk terus berinvestasi. Pertanyaannya, sektor apa yang harus dibidik di tengah inflasi?
Perlu digarisbawahi, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Menanggapi fenomena ini, Gita justru melihat sebuah peluang jangka panjang untuk berinvestasi.
-
Bagaimana cara membagi anggaran untuk investasi? Martua menyarankan adanya pembagian porsi alokasi anggaran untuk berinvestasi.“Untuk pemula, secara umum bisa dialokasikan dengan pembagian 40% - 30% - 20% dan 10%," rinci Martua.
-
Bagaimana inflasi mempengaruhi nilai investasi? “Inflasi juga dapat memengaruhi nilai tukar. Negara-negara dengan tingkat inflasi rendah biasanya mengalami apresiasi nilai mata uang dibandingkan negara-negara dengan inflasi yang lebih tinggi,” ujar Kar Yong Ang.
-
Kenapa inflasi penting buat investor? “Itulah sebabnya pemahaman akan inflasi merupakan kunci dari perencanaan keuangan dan pengambilan keputusan ekonomi yang efektif,” ujar Kar Yong Ang.
-
Kapan inflasi penting untuk investor? “Inflasi juga dapat memengaruhi nilai tukar. Negara-negara dengan tingkat inflasi rendah biasanya mengalami apresiasi nilai mata uang dibandingkan negara-negara dengan inflasi yang lebih tinggi,” ujar Kar Yong Ang.
-
Apa yang perlu dilakukan untuk menghindari jebakan investasi? Tak banyak yang tahu, jika investasi memang termasuk salah satu cara menjadi miliarder tanpa modal besar paling efektif. Akan tetapi, Anda perlu berhati-hati memilih instrumen investasi. Jangan mudah terjebak investasi spekulatif, yaitu jenis investasi dengan tawaran keuntungan terlalu besar dan cenderung tidak normal. Alih-alih untung, Anda justru berisiko terkena penipuan saat memilih instrumen investasi semacam ini.
-
Bagaimana cara memulai investasi bagi pemula? Untuk itu, kegiatan investasi harus dilakukan dengan dana khusus. Terlebih lagi bagi para pemula yang masih belum memahami cara kerja investasi.
Namun untuk bisa melihat celah tersebut, pria yang sempat menjabat sebagai Presiden Direktur JP Morgan Indonesia itu menerangkan bahwa semua prosesnya dimulai dengan memahami literasi keuangan.
"Sekarang, duit yang dicetak di negara-negara maju itu banyak banget. Jadi, kalau momen ini tidak dimanfaatkan dengan pengetahuan, literasi keuangan, itu sayang banget. Padahal, suku bunga makin rendah. Semakin rendah, kewirausahaan harus ditingkatkan. Bagaimana cara meningkatkannya? Ya dimulai dari edukasi finansial," sebut Gita.
Pelonggaran Kuantitatif
Gita memperkirakan bahwa inflasi yang terjadi saat ini tidak akan berlangsung lama karena sebuah kata kunci: pelonggaran kuantitatif.
"Proyeksinya, bunga akan dinaikan, mungkin 2 hingga 3 kali. Kalau dinaikan, itu lebih karena inflasi yang sifatnya disrupsi pasok, bukan karena meningkatnya daya beli. Jadi saya lebih berpikir bahwa inflasi ini hanya berlangsung sementara, paling banter hanya satu tahun," papar lulusan Harvard University tersebut.
Selanjutnya, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang akan melakukan relaksasi besar-besaran atas nama pelonggaran kuantitatif.
"Itu (pelonggaran kuantitatif) intinya cetak duit lebih banyak. Jadi, semestinya bunga akan turun lagi, sehingga pasar modal akan jauh lebih semarak lagi," papar Gita Wirjawan.
Peran Besar Artificial Intelligence
Jika pelonggaran kuantitatif benar-benar terjadi, kata Gita, hal ini bakal memicu penurunan suku bunga, yang berimbas pada lahirnya peluang investasi dari sektor lainnya, terutama yang dimotori oleh artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan.
"Suku bunga turun, investasi di fixed income tidak semenarik seperti sebelumnya. Justru kita melihat investasi di pasar modal, saham, bukan hanya ditopang karena penurunan suku bunga, tapi peningkatan produktivitas. Apalagi, dengan adanya pemberdayaan artificial intelligence (kecerdasan buatan/AI)," katanya.
"Biaya AI itu selalu menurun 50-60 persen per tahunnya. Jadi kalau biaya AI terus menurun, tentunya pemberdayaan AI akan semakin meningkat sehingga lebih produktif. Jika saat itu tiba, equity story akan lebih seksi ketimbang sektor fixed income story. Selanjutnya, tinggal kita padukan dengan alternatif aset yang baru, misalnya kripto atau NFT," sambung Gita.
Kripto Semakin Seksi
Oleh karena itu, Gita menyarankan agar para pebisnis baru untuk selalu menilai sebuah investasi dalam jangka yang panjang dan jangan terlalu cepat menyimpulkan sebuah situasi.
"Jadinya, saya melihat peluang berinvestasi di saham itu, jangka panjang, luar biasa bagus. Tapi bukan berarti peluang investasi di kelas aset lainnya harus diabaikan. Kita ambil contoh kripto misalnya. Saya justru sangat bullish mengenai kripto, investasi di kripto itu bagus prospeknya untuk jangka panjang," papar pria 56 tahun tersebut.
Seandainya seorang pebisnis berpikir jangka panjang, maka mereka akan mengetahui bahwa manajer portofolio memerlukan kelas aset yang tidak berkorelasi dengan apapun yang harus mereka investasikan, termasuk saham, real estate, dll.
"Semakin tidak berkorelasi kripto, maka semakin diinginkan karena mengurangi risiko. Risiko di kripto itu kurang dari 1 persen. Dalam batas logika, gak ada alasan kalau bitcoin akan menembus harga di atas USD 100 ribu," tutup Gita.
(mdk/idr)