Kemenkeu Sebut Defisit Anggaran Sulsel Masih Bisa Diatasi: Kurangi Belanja Tidak Penting
Anggaran Provinsi Sulawesi Selatan mengalami defisit hingga Rp1,5 triliun.
Anggaran Provinsi Sulawesi Selatan mengalami defisit hingga Rp1,5 triliun.
Kemenkeu Sebut Defisit Anggaran Sulsel Masih Bisa Diatasi: Kurangi Belanja Tidak Penting
Pejabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan Bachtiar Baharuddin mengungkapkan keuangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) berada di ujung kebangkrutan karena terdapat utang Rp1,5 triliun.
- Ini Penjelasan Kemenkeu Soal APBD Sulsel Defisit Rp1,5 Triliun
- Andi Sudirman Wariskan Defisit APBD Rp1,5 Triliun, Pj Gubernur: Sulsel Bangkrut!
- Di Akhir Masa Jabatan, Gubernur Sulsel Letakkan Batu Pertama Tanggul Penahan Abrasi
- Anggaran Perlinsos 2024 Capai Rp493 Triliun, Nilainya Hampir Setara dengan Awal Pandemi
Merespon hal itu, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Sandy Firdaus meminta kepada Pemrov Sulsel untuk mengurangi belanja daerah yang tidak terlalu penting.
"Jadi sebenarnya defisit di sini tuh bisa di manage sebetulnya oleh Pemda bagaimana kewajiban tadi dia anggarkan, mungkin dia harus melakukan sedikit refokusing untuk belanja lainnya. Belanja-belanja yang nggak terlalu penting misalkan bisa dia kurangi untuk membayar hal itu," kata Sandy dalam acara media briefing DJPK, Jakarta, Senin (16/10).
Merdeka.com
Dia menuturkan defisit Sulsel tersebut didapatkan lantaran Dana Bagi Hasil (DBH) ke Kabupaten dan Kota yang belum dibayarkan oleh pihak Pemprov.
"Jadi statement pada waktu itu mengatakan bangkrut karena memang penting ternyata ada kewajiban dana bagi hasil dari provinsi ke kabupaten kota yang belum dibayarkan," terang dia.
Perlu diketahui, Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan yang dialami Pemprov Sulsel bukanlah kebangkrutan, melainkan kesulitan likuiditas akibat dari pengelolaan utang jangka pendek yang kurang pruden.
Hasil analis LKPD 2022 dan LRA 2023, Pemprov Sulsel menunjukkan kinerja keuangan yang kurang sehat, khususnya pada aspek likuiditas.
"Untuk tahun 2023, terdapat utang jangka pendek jatuh tempo dan utang jangka panjang yang menjadi kewajiban Pemprov," kata Yustinus dalam keterangannya, beberapa waktu lalu.
Tingginya kewajiban utang tersebut, lanjut Yustinus, sebenarnya dapat dihindari dengan optimalisasi pendapatan dan efisiensi belanja, mengingat tingginya akumulasi SILPA tahun 2023 dan tahun-tahun sebelumnya.
Diketahui bahwa per September 2023 SILPA Pemprov berada di angka Rp676 M, dan kondisi ini diprediksi tetap terjadi hingga akhir tahun melihat tren realisasi PAD yang meningkat serta pola akumulasi SILPA di 2 tahun sebelumnya.
Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, Pemprov dapat melakukan, pertama negosiasi utang jangka pendek, kedua restrukturisasi utang jangka panjang.
Ketiga optimalisasi pendapatan dan efisiensi serta realokasi belanja untuk menekan SILPA, dan refinancing sebagai langkah terakhir.