Kepanikan saat rupiah menyentuh Rp 14.700 per USD
Perlambatan ekonomi global menjadi penyebab utama terpuruknya Rupiah.
Nilai tukar Rupiah makin terpuruk terhadap Dolar Amerika Serikat. Perdagangan kemarin, Rupiah sempat menyentuh level terendah yaitu Rp 14.711 per USD.
Pemerintah beralasan perlambatan ekonomi global menjadi penyebab utama terpuruknya Rupiah. Selain itu, anjloknya Rupiah juga disebabkan kebijakan pemerintah China yang sengaja melakukan devaluasi terhadap mata uang Yuan.
-
Bagaimana Pejuang Rupiah bisa menghadapi tantangan ekonomi? "Tidak masalah jika kamu bekerja sampai punggungmu retak selama itu sepadan! Kerja keras terbayar dan selalu meninggalkan kesan abadi."
-
Bagaimana redenominasi rupiah dilakukan di Indonesia? Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang, contohnya Rp 1.000 menjadi Rp 1.
-
Mengapa nilai tukar rupiah menjadi sangat tinggi terhadap dolar di era Soeharto? Sebab, inflasi Indonesia yang terbilang masih cukup tinggi tidak sebanding dengan mitra dagangnya. Akhirnya nilai tukar rupiah menjadi sangat tinggi terhadap dolar dan tidak ada negara yang mau bermitra dengan Indonesia.
-
Apa manfaat utama dari Redenominasi Rupiah untuk mata uang Indonesia? Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menyatakan manfaat utama dari redenominasi rupiah adalah untuk mempertahankan harkat dan martabat rupiah di antara mata uang negara lain.
-
Mengapa Redenominasi Rupiah sangat penting untuk Indonesia? Rupiah (IDR) termasuk dalam golongan mata uang dengan daya beli terendah. Hal ini semakin menunjukan urgensi pelaksanaan redenominasi rupiah di Indonesia.
-
Apa yang membuat Pejuang Rupiah istimewa? "Makin keras kamu bekerja untuk sesuatu, makin besar perasaanmu ketika kamu mencapainya."
Hal ini membuat seluruh mata uang di dunia bergerak negatif terutama di wilayah Asia Tenggara. Malaysia menjadi negara dengan pelemahan terparah mencapai 21 persen. Sementara, Indonesia baru mencapai 12,9 persen hingga Agustus 2015.
Kendati demikian, pemerintah tetap mengklaim ekonomi Indonesia tetap stabil. Bahkan, Bank Indonesia (BI) pernah melakukan stress test terhadap pelemahan mata uang Rupiah. Dari tes tersebut, BI menyimpulkan Indonesia masih stabil walaupun nilai tukar Rp 15.000 per Dolar AS.
"Mohon tetap tenang, kita harap ekonomi kita mengarah ke yang lebih baik dan perlu waspada, karena tiga tahun terakhir penuh ketidakpastian. BI akan selalu ada di pasar jaga stabilitas dan respons dalam bentuk bauran kebijakan makroprudential agar penyaluran kredit lebih lancar," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo.
Pemerintah, Bank Sentral dan pengusaha mulai serius menanggapi pelemahan Rupiah. Merdeka.com mencatat kepanikan dan respon saat Rupiah menyentuh Rp 14.700 per Dolar AS:
Pengusaha siap naikkan harga
Dunia usaha, utamanya yang masih menggunakan bahan baku impor, tertekan oleh kondisi nilai tukar Rupiah yang saat ini sudah menyentuh angka Rp 14.700 per USD. Tak terkecuali usaha di sektor makanan dan minuman (mamin).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan, sektor industri mamin sudah mulai kewalahan menghadapi keperkasaan USD terhadap Rupiah.
Bahkan, untuk bisa tetap berproduksi tanpa menaikkan harga produk, sektor permodalan perusahaan-perusahaan mamin mulai tergerus.
Menurut Adhi, pelaku usaha sudah mulai berhitung dan menganalisis hingga sejauh mana mereka bisa bertahan. "Kita melihat ini masing-masing perusahaan masih simulasi tahan sampai berapa," kata Adhi di Kantor BKPM, Jakarta, Jumat (25/9).
Adhi menilai, jika angka rupiah terhadap USD menyentuh level lebih dari Rp 15.000, pelaku industri mamin tak akan bertahan tanpa menaikkan harga produk. "Toleransinya Rp 15.000 maksimum. Jangan lebih dari itu, kalau lebih, akan naikkan harga," tutur Adhi.
BI siapkan strategi baru
Bank Indonesia (BI) bakal mengeluarkan paket kebijakan baru. Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung mengatakan paket kebijakan tersebut salah satunya adalah memberikan insentif kepada pelaku usaha yang menyimpan dana hasil ekspornya di dalam negeri.
"Dalam waktu dekat BI akan menyampaikan kembali paket kebijakan yang bisa mengatasi stabilisasi nilai tukar," ujarnya di Gedung BI, Jakarta, Jumat (25/9).
Menurut Juda, paket kebijakan ini juga untuk meningkatkan ketersediaan dolar di Tanah Air yang akhirnya dapat menguatkan Rupiah ke depan.
"Paket itu misalnya DHE (Devisa Hasil Ekspor), kami sedang berkoordinasi dengan pemerintah detailnya, termasuk soal kemungkinan pajak dan sebagainya," jelas dia.
Pemerintah percepat keluarkan kebijakan baru
Terus berlanjutnya pelemahan Rupiah, di mana hari ini mencapai Rp 14.700 per USD, membuat pemerintah segera bergerak cepat. Pemerintah berencana segera mengeluarkan kebijakan ekonomi lanjutan pekan depan.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pihaknya tengah memantapkan paket kebijakan yang akan dirilis dalam waktu dekat. Pasalnya, perlu ada pembicaraan lanjutan bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Nanti lagi koordinasi. Pokoknya kita sedang koordinasi. Mudah-mudahan minggu depan ada. Sebetulnya komunikasinya sudah, tapi kan harus mantap juga," ujarnya di Kantornya, Jakarta, Jumat (25/9).
Batasi impor barang mewah
Pemerintah tengah menyiapkan aturan untuk membatasi impor barang mewah. Aturan ini disiapkan untuk memperbaiki perekonomian yang melambat.
"Salah satu langkah perbaiki ekonomi yang lesu adalah menjaga daya beli masyarakat agar jangan turun. Selain itu, kita harus mengurangi pembiayaan impor. Makanya kita nanti akan batasi impor barang mewah," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla di sela kunjungannya ke New York seperti dilansir antara, Jumat (25/9).
Kurangi jam kerja
Industri makanan dan minuman (mamin) mulai teriak menghadapi kondisi nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang sudah menyentuh level Rp 14.700 per USD. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI), Adhi S Lukman mengatakan, sisi permodalan dari pelaku industri mamin sudah mulai terusik dan tergerus.
Pengusaha mamin kesulitan karena mahalnya bahan baku impor sebagai dampak melemahnya Rupiah. Sementara harga jual produk tidak bisa dinaikkan lantaran daya beli masyarakat yang kini sedang rendah.
"Jadi perusahaan mengefisienkan diri juga memanage margin. Kita melihat beberapa perusahaan sudah teriak karena bottom line sudah mulai tergerus. Ini yang harus hati-hati," kata Adhi di Kantor BKPM, Jakarta, Jumat (25/9).
Meski belum ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara nyata, namun perusahaan-perusahaan mamin sudah mulai mengurangi jam kerja karyawan.
"Saya belum dengar (PHK), tapi pengurangan jam kerja sudah mulai terjadi. Sebagian pengurangan jam kerja, jam lembur dikurangi bergilir shift. Pendapatan dari karyawan berkurang. Kalai di PHK belum ada, tapi kalau kecil-kecilan sudah terjadi," ungkap Adhi.
(mdk/noe)