Kondisi Ekonomi Indonesia Terkini: Daya Beli Kelas Menengah Turun dan PHK Massal Berlanjut
Pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah karena kebijakan struktural pemerintah.
Sinyal pelemahan daya beli masyarakat semakin menguat. Pelemahan daya beli ini paling terasa di segmen ekonomi kelas menengah. Tren pelemahan daya beli masyarakat tercatat dalam laporan inflasi Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatatkan deflasi pada Juni 2024 lalu.
Data BPS mencatat, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi sebesar 0,08 persen secara bulanan atau Month To Month (mtm) atau dapat dikatakan menurun ke angka 2,51 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan Mei sebesar 2,84 persen (yoy).
- Begini Kondisi Sektor Jasa Keuangan Usai Jumlah Kelas Menengah Anjlok dan Deflasi 4 Bulan Berturut-turut
- Biang Kerok yang Bikin Uang Kelas Menengah RI Cepat Habis Bikin Hidup Makin Susah
- Ekonomi Indonesia Mandek: Penduduk Kelas Menengah Merosot, Kelas Rentan Miskin Meningkat
- Keputusan MK Tolak Gugatan Sengketa Pilpres Bakal Beri Dampak ke Ekonomi Indonesia, Begini Gambarannya
Deflasi merupakan kondisi harga barang atau jasa mengalami penurunan dalam periode tertentu. Di sisi lain, murahnya harga barang atau jasa ini menjadi pertanda bahwa kondisi ekonomi suatu negara sedang tidak stabil.
Lantas apa penyebab tren penurunan daya beli kelas menengah di Indonesia?
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengutarakan bahwa pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah karena kebijakan struktural pemerintah.
Pertama, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen membuat kelas menengah harus membayar barang lebih mahal.
"Apalagi tarif PPN jadi 12 persen tahun depan, dikhawatirkan banyak yang terpukul termasuk pelaku ritel," ujar Bhima saat dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Kamis (15/8).
Kedua, pelemahan daya beli masyarakat menengah juga dipicu oleh terus menurunnya kinerja industri manufaktur. Pelemahan ini tercermin dari indeks PMI Manufaktur pun turun ke level 49,3 atau berada di zona kontraksi untuk periode Juli 2024.
Dia menyebut, pelemahan kinerja industri manufaktur ini akibat kegagalan pemerintah dalam membendung serbuan barang impor ilegal yang dijual lebih murah. Akibatnya, industri manufaktur domestik menjadi kalah bersaing di pasaran.
"Akibatnya serapan tenaga kerja sektor formal tertekan, PHK massal berlanjut," keras dia.
Suku Bunga Acuan Tinggi
Ketiga, masih berlanjutnya tren era suku bunga acuan tinggi. Dampak dari tingginya suku bunga ini membuat biaya cicilan kendaraan bermotor dan rumah menjadi lebih mahal yang kian membebani kalangan ekonomi kelas menengah.
Keempat, implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker atau UU CK) berkontribusi pada kenaikan upah pekerja yang tidak berimbang terhadap inflasi bahan makanan. Artinya, upah tidak mampu menahan laju pengeluaran bahan makanan.
"Ini kesalahan fatal pemerintah,"ujarnya.
Untuk mengatasi pelemahan daya beli masyarakat, pemerintah diminta menunda rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen di tahun 2025.
"Bila perlu turunkan tarif PPN jadi 8 persen," seru Bhima.
Selanjutnya, dia meminta pemerintah untuk tidak boros dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2024. Misalnya tidak jor-joran dalam menggelontorkan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
"Jangan boros belanja apbn untuk IKN, karena industri padat karya masih butuh support fiskal," pungkasnya.
Minta Penerapan PPN 12 Persen Ditunda
Sebelumnya, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meminta Pemerintah untuk menunda kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dari yang berlaku saat ini 11 persen. Pasalnya, kenaikan PPN 12 persen memberikan dampak yang cukup berat bagi daya beli masyarakat.
âTerkait kenaikan PPN jadi 12%, kami berharap Pemerintah untuk menunda karena kenaikan ini akan berdampak ke harga jual. Kalau harga jual naik yang paling berdampak adalah kelas menengah ke bawah,â ungkap Alphonzus Wijaja, Ketua Umum DPP APPBI kepada media di kantor Kementerian Perdagangan, Selasa (30/7)
Tak hanya konsumen, Alphonzus juga melihat kenaikan PPN juga akan memberatkan pengusaha. Bagi pelaku usaha, penurunan daya beli masyarakat dikhawatirkan menyebabkan penjualan ikut turun.
"Tarif PPN kita gak rendah-rendah sekali dibandingkan negara tetangga. Karena pertumbuhan sekarang belum optimal, jadi dorong dulu pertumbuhannya semaksimal mungkin, baru mainkan tarifnya," ujar dia.
- Laparoskopi Bisa Jadi Pilihan untuk Atasi Masalah GERD
- Potret Mahalini Pulang Kampung ke Bali, Cantik Banget saat Buat Kue di Dapur & Ternyata Disusul Adik-adik Rizky Febian
- Momen IShowspeed Diberi Batik Dibilang Khas Malaysia, Langsung Cari Tahu Ternyata Asal Indonesia
- Potret Kamar Bunda Corla di Rumah Ivan Gunawan, Ayu Ting Ting 'Kok Bau?'
- Ibunda Beberkan Bullying Dialami dr Aulia Berujung Kematian: Dibentak Saat Sakit Hingga Tugas Nyaris 24 Jam
Berita Terpopuler
-
Jokowi Tak Mau Buru-Buru Teken Kepres Pemindahan IKN, Ternyata Ini Alasannya
merdeka.com 18 Sep 2024 -
Bahlil Minta Jokowi Naikkan Gaji PNS Kementerian ESDM, Ini Alasannya
merdeka.com 18 Sep 2024 -
Presiden Jokowi Heran Urus Izin PLTP Memakan Waktu 6 Bulan: Saya Sendiri Tidak Kuat Menunggu Selama Itu
merdeka.com 18 Sep 2024 -
Jokowi soal Belum Terbitkan Keppres Pemindahan Ibu Kota ke IKN: Ini Bukan Pindah Rumah
merdeka.com 18 Sep 2024 -
Jokowi: Lamanya Waktu Perizinan Memulai Konstruksi Energi Panas Bumi, Jadi Problem Investor
merdeka.com 18 Sep 2024