Masyarakat Jepang Semakin Terasa Miskin Karena Hal Ini
Dia harus menghabiskan sekitar USD20 untuk mendapatkan makanan layak di restoran.
Dia harus menghabiskan sekitar USD20 untuk mendapatkan makanan layak di restoran.
- Nelangsa Pekerja di Jepang, Makan Nasi Telur Pagi-Malam dan Nyalakan AC Cuma 30 Menit untuk Berhemat
- Indonesia Sebenarnya Bisa Tak Impor Beras, Caranya Setop Buang Makanan
- Turis Asing Membludak di Jepang, Warga Jengkel dan Restoran Kasih Harga Mahal
- Hitungan BPS: Masyarakat Jakarta Habiskan Rp1 Juta untuk Makan Setiap Bulannya
Masyarakat Jepang Semakin Terasa Miskin Karena Hal Ini
Menguatnya dolar Amerika Serikat tidak hanya membuat nilai tukar rupiah anjlok.
Mata uang sekaliber Jepang, yen, pun mengalami kondisi serupa.
Kondisi seperti ini kemudian dijadikan pengalaman menarik bagi seorang peneliti asal Jepang yang berada di Amerika Serikat.
Melansir The Asahi Shimbun, sepatu Asics hitam favoritnya berlubang. Dia merasa sudah waktunya membeli sepatu baru.
Sang istri, yang sedang berkeliling di pusat perbelanjaan di Amerika melihat sepatu yang cocok untuk peneliti tersebut.
Hanya saja sang peneliti merasa harga tersebut terlalu mahal, seiring inflasi Amerika Serikat yang cukup tinggi.
Dia kemudian mengingat bahwa nilai tukar yen terhadap dolar sedang berada di kondisi yang lemah.
"Dia memutuskan untuk menunggu sampai kembali ke Jepang untuk membeli sepasang sepatu pengganti karena dia juga ingin mengalami "kehidupan dalam kemiskinan","
demikian laporan yang dilansir Kamis (9/5).
Selain melemahnya yen, perekonomian AS kini menghadapi kenaikan inflasi yang belum pernah terjadi dalam empat dekade terakhir, sehingga segala sesuatunya menjadi lebih mahal bahkan bagi warga Amerika.
Peneliti membayar total USD4.500 sebulan untuk sewa rumah dan pusat penitipan anak untuk anak-anaknya.
Dia datang ke Washington musim panas lalu dan pada saat itu membutuhkan pengeluaran bulanan sekitar 620.000 yen. Tapi sekarang menjadi sekitar 680.000 yen.
Gaji dan biaya penelitiannya yang dibayar oleh institusi Jepangnya menggunakan yen, sehingga devaluasi mata uang tersebut selalu membuatnya khawatir. Hal ini terutama terjadi pada akhir bulan April ketika yen melemah hingga sekitar 160 yen terhadap dolar.
“Ada kalanya, saya tidak bisa tidur ketika saya mulai memikirkan apakah saya harus menukar yen dengan dolar,” katanya.
Pria tersebut juga melakukan penelitian di Amerika Serikat bagian timur pada tahun 2012 selama sekitar 18 bulan. Saat itu, nilai tukarnya sekitar 80 yen terhadap dolar.
“Saya merasakan kemakmuran karena saya bisa mendapatkan sarapan enak seharga USD10,” kenangnya.
Namun dengan nilai yen yang kini hanya separuh dari nilai satu dekade lalu, ia berkata, “Sekarang saya harus menghabiskan sekitar USD20 untuk mendapatkan makanan layak di restoran.”
Meskipun ia memahami volatilitas pasar mata uang, ia tidak dapat menghapus perasaan bahwa masyarakat Jepang menjadi semakin miskin sebagai dampaknya.