Menko Darmin akui target pajak pemerintah terlalu tinggi
"Target pajak, harus diakui ketinggian," ucap Darmin Nasution.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah tahun ini, terlalu tinggi. Sebagai bukti, penerimaan pajak hingga September 2015 baru mencapai 53,02 persen dari target.
"Target pajak, harus diakui ketinggian. Pasti ada short (short fall/selisih) nya meski beda. Ada yang bilang Rp 250 triliun, Rp 220 triliun, Menteri Keuangan bilang Rp 120 triliun atau Rp 160 triliun. Intinya semua sepakat akan ada shortfall," ujar Darmin di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/10).
-
Apa itu pajak? Pungutan Wajib KBBI mendefinisikan pajak sebagai pungutan wajib untuk penduduk kepada negara atas pendapatan, pemilikan, dan lainnya.
-
Kapan pajak anjing diterapkan di Indonesia? Aturan pajak untuk anjing pernah diterapkan di Indonesia, saat masa kolonialisme Belanda.
-
Apa yang dilakukan Kemenkumham untuk meningkatkan perekonomian Indonesia? Menurut Yasonna, dengan diselenggarakannya Temu Bisnis Tahap VI, diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian Indonesia.
-
Dimana pajak anjing diterapkan di Indonesia? Kebijakan ini terdapat di banyak daerah seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Mojokerto.
-
Bagaimana cara Partai Nasional Indonesia (PNI) menjalankan politik ekonominya? PNI adalah partai yang fokus di dalam pemerintahan dengan menjunjung tinggi nasionalisme dan politik ekonomi bersifat nasionalis.
-
Pajak apa yang diterapkan di Jakarta pada masa pasca kemerdekaan? Di dekade 1950-an misalnya. Setiap warga di Jakarta akan dibebankan penarikan biaya rutin bagi pemilik sepeda sampai hewan peliharaan.
Pemerintah mencatat, per September lalu, penerimaan pajak baru Rp 686,27 triliun atau 53,02 persen dari target tahun ini. Lebih rendah ketimbang realisasi periode sama tahun lalu sebesar Rp 688,27 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Mekar Satria Utama menjelaskan, penerimaan pajak minus migas mencapai 51,94 persen atau sebesar Rp 646,55 triliun. Ini lebih besar ketimbang periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 628,70 triliun.
"Kami memang selama ini lebih prefer untuk bicara nonmigas karena penerimaan migas tahun ini memang jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya, alasannya sudah sangat jelas karena memang nilai kuantitasnya menurun dan juga nilai tukarnya malah sekarang naik ya tapi memang sebenarnya impornya yang lebih rendah daripada yang sebelumnya," jelas Mekar di Kepulauan Seribu, Jakarta, Kamis (8/10).
Mekar memaparkan, penerimaan PPh non migas terbesar berasal dari pajak pengusaha atau PPh pasal 25/29 badan yang mencapai Rp 206,89 triliun. Itu sekitar 32 persen dari total penerimaan pajak non-migas .
Diikuti pajak atas penghasilan pemberi kerja mencapai Rp 155,17 triliun atau 24 persen dari total penerimaan pajak non-migas.
"Kalau dilihat besaran, yang paling besar penerimaan kita memang untuk jenis PPh non migas itu dari PPh pasal 25/29 Badan. Kemudian PPh pasal 21 itu sebesar 24 persen."
Selain itu, PPh Final mencapai Rp 122,84 triliun atau 19 persen dari total penerimaan pajak non-migas. PPh Final adalah pajak tak dapat dikreditkan untuk deposito, tabungan, obligasi, dan lainnya.
Lalu, penerimaan PPh pasal 22 impor sebesar 9 persen, PPh pasal 26 sebesar 8 persen, PPh pasal 23 sebesar 6 persen. Kemudian PPh pasal 25/29 Orang Pribadi (OP) sebesar 1 persen, PPh pasal 22 biasa 1 persen dan lainnya 0 persen.
"Walaupun kalau kami lihat posisinya, PPh pasal 22 Biasa maupun PPh pasal 22 Impor itu pertumbuhannya negatif dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya."
(mdk/idr)