Negara Ini Jadi Penyumbang Terbesar Investasi Otomotif di Indonesia
Hingga September 2024, total investasi di sektor otomotif mencapai Rp31,7 triliun.
Investasi di sektor otomotif di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.
Dendy Apriadi, Direktur Deregulasi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menyatakan bahwa investasi otomotif telah meningkat sebesar 43 persen dalam lima tahun terakhir.
Pada bulan September 2024, total nilai investasi mencapai Rp31,7 triliun, yang terdiri dari penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp 28,15 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp 3,6 triliun.
"Kalau kita breakdown lagi dari industri yang berkembang, itu memang ada industri baterai, industri kendaraan roda empat, dan industri roda dua, komposisinya 15 persen, 73 persen, dan 11 persen," ujarnya dalam kutipan yang dirilis pada Rabu (15/1).
Selama periode 2019-2024, Jepang menjadi negara dengan investasi otomotif tertinggi di Indonesia, mencapai Rp 75 triliun, diikuti oleh Korea Selatan dengan Rp 44,25 triliun, Singapura Rp 5,5 triliun, Hong Kong Rp 3,59 triliun, dan Tiongkok Rp 1,04 triliun.
Industri Mobil
Dalam rentang waktu yang sama, sektor industri mobil menerima aliran investasi yang sangat besar, yaitu Rp107 triliun.
Investasi untuk kendaraan roda dua dan tiga mencapai Rp 16,7 triliun, sedangkan untuk industri baterai sebesar Rp 22,1 triliun.
Menurut Dendy, Kementerian Investasi/BKPM telah menerapkan berbagai strategi untuk menarik lebih banyak investasi di sektor otomotif.
Strategi tersebut meliputi penyediaan program pendidikan vokasi yang dirancang untuk memberikan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar, serta menawarkan insentif investasi yang kompetitif, terutama untuk sektor kendaraan listrik (EV).
Selain itu, terdapat juga fasilitas seperti tax holiday, tax allowance, dan pembebasan bea masuk untuk investasi industri EV.
Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No.79 Tahun 2023 juga menjadi langkah penting yang mengatur pemberian insentif dalam bentuk bea masuk 0 persen untuk impor, serta PPnBM 0 persen yang berlaku bagi impor KBLBB CBU dan CKD dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tertentu.
Berikan tambahan insentif
Industri otomotif saat ini memerlukan dukungan insentif tambahan untuk mempertahankan kinerja penjualannya pada tahun 2025.
Hal ini disebabkan oleh berbagai tantangan, terutama akibat peningkatan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen, serta penerapan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).
Selain itu, penurunan jumlah kelas menengah menjadi ancaman serius bagi sektor otomotif, mengingat kelas menengah selama ini merupakan pembeli utama kendaraan bermotor dan pendorong ekonomi Indonesia.
Menurut data, pada tahun 2024, jumlah kelas menengah diperkirakan mencapai 47,85 juta, menurun dari 57 juta pada tahun 2019.
Penurunan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan stagnasi pasar mobil di angka 1 juta unit antara tahun 2014 hingga 2023, serta kontraksi pasar yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2024.
Tanpa adanya insentif tambahan, penjualan mobil pada tahun 2025 diperkirakan akan terjun di bawah 800 ribu unit, melanjutkan tren negatif yang dimulai pada tahun 2024, di mana pasar mengalami penurunan sebesar 13,9 persen menjadi 865.723 unit.
Sebaliknya, jika insentif tambahan diterapkan, pasar mobil berpotensi pulih dengan estimasi penjualan mencapai 900 ribu unit.
Penjualan yang menurun membuat industri otomotif memerlukan insentif tambahan
Sebelumnya, Setia Darta selaku Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan bahwa industri otomotif diperkirakan akan mengalami kontraksi sebesar 16,2% pada tahun 2024.
Penurunan ini diakibatkan oleh lemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya suku bunga untuk kredit kendaraan bermotor.
Dia juga menyampaikan bahwa industri otomotif akan menghadapi tantangan yang lebih besar pada tahun 2025, terkait dengan penerapan kebijakan kenaikan PPN serta pelaksanaan opsen PKB dan BBNKB.
Setia menekankan pentingnya sektor otomotif yang memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dengan perkiraan penurunan mencapai Rp 4,21 triliun pada tahun 2024.
Penurunan ini akan berdampak pada sektor backward linkage sebesar Rp 4,11 triliun dan forward linkage sebesar Rp 3,519 triliun.
"Menyadari pentingnya sektor otomotif bagi kontribusi ekonomi Indonesia dan tantangan yang dihadapi pada tahun 2025, Kemenperin secara aktif menyampaikan usulan insentif dan relaksasi kebijakan kepada pemangku kepentingan terkait," ujar Setia.
Setia juga mengungkapkan beberapa usulan insentif dari Kemenperin, di antaranya adalah PPnBM ditanggung pemerintah (PPnBM DTP) untuk kendaraan hybrid (PHEV, full, mild) sebesar 3 persen.
Selain itu, insentif PPN DTP untuk kendaraan listrik (EV) sebesar 10 persen juga diusulkan untuk mendorong pengembangan industri kendaraan listrik, serta penundaan atau keringanan dalam penerapan opsen PKB dan BBNKB.
"Saat ini sebanyak 25 provinsi telah menerbitkan regulasi terkait relaksasi opsen PKB dan BBNKB," ungkapnya.
Kebijakan yang diambil diharapkan dapat memberikan dukungan nyata terhadap keberlanjutan industri otomotif nasional dan menjaga daya saingnya di pasar domestik maupun global.
Ke-25 provinsi tersebut meliputi Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, NTB, Bali, Kepri, Sumatra Utara (Sumut), Sumatra Selatan (Sumsel), Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Timur (Kaltim), dan Sulawesi Selatan (Sulsel).
Di sisi lain, penurunan jumlah kelas menengah dapat menjadi ancaman bagi industri otomotif, karena mereka selama ini berperan sebagai pembeli utama kendaraan bermotor dan juga sebagai penggerak ekonomi Indonesia.
Pada tahun 2024, jumlah kelas menengah diperkirakan mencapai 47,85 juta, mengalami penurunan dari 57 juta pada tahun 2019.
Hal ini menjadi faktor penyebab stagnasi pasar mobil yang terjebak di level satu juta unit antara tahun 2014 hingga 2023, serta kontraksi pasar yang diprediksi terjadi pada tahun 2024.
Tanpa adanya insentif tambahan, penjualan mobil pada tahun 2025 dikhawatirkan akan jatuh di bawah 800 ribu unit, melanjutkan tren negatif yang terlihat pada tahun 2024, di mana pasar mengalami penurunan sebesar 13,9% menjadi 865.723 unit.
Namun, jika skenario insentif tambahan diterapkan, pasar mobil bisa mendapatkan kembali momentum dengan estimasi penjualan mencapai 900 ribu unit.
Sejauh ini, pemerintah telah meluncurkan insentif berupa diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil hybrid sebesar 3 persen.
Meskipun demikian, insentif ini dianggap belum cukup efektif. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memberikan insentif tambahan, seperti diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil 4x2 rakitan lokal, diskon pajak bagi pembeli pertama, serta insentif bagi pabrikan yang melakukan lokalisasi dan kegiatan riset serta pengembangan (litbang).