Pemerintah diminta ambil alih masalah perumahan, jangan diserahkan ke pasar
Pembenahan politik perumahan dengan tidak pro pasar ini akan mendukung penggunaan teknologi properti sebagai alternatif material perumahan. Teknologi ini di antaranya rumah kayu dengan sistem knock down yang sudah banyak diterapkan di sejumlah proyek properti.
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) DKI Jakarta periode 2000-2006, Bambang Eryudhawan angkat bicara terkait masalah properti, khususnya perumahan untuk masyarakat kelas bawah. Menurutnya, masalah kekurangan rumah untuk masyarakat sebenarnya bisa diatasi dengan cara pemerintah mengambil alih kebijakan di sektor perumahan atau perbaikan politik perumahan.
Dia menilai, sektor properti merupakan masalah sosial sehingga negara tidak bisa lepas tangan dan menyerahkannya ke mekanisme pasar.
-
Bagaimana pertumbuhan permintaan terhadap rumah di Jakarta? “Pada Juni 2024, pertumbuhan permintaan (enquiries) terhadap rumah di Jakarta yang disewa tumbuh 59,8 persen dan hunian yang dijual sebesar 114,9 persen secara tahunan,” kata Head of Research Rumah123 Marisa Jaya dilansir Antara, Selasa (30/7).
-
Di mana saja kawasan perumahan elit di Jakarta yang disebutkan dalam konteks ini? Berikut 5 kawasan perumahan elit di Jakarta: 1. Pondok Indah 2. Kemang 3. Menteng 4. Pantai Indah Kapuk (PIK) 5. Kelapa Gading
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Siapa yang menemukan pendatang yang menjadi pemulung di Jakarta? "Ada juga yang beberapa waktu lalu ketemu ya kita pemulung segala macam. Kita kembalikan,"
-
Di mana letak permukiman terbengkalai di Jakarta yang diulas dalam video? Baru-baru ini sebuah kawasan di wilayah Jakarta Timur yang terbengkalai terungkap, dengan deretan rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya.
-
Siapa yang memulai usaha peternakan di Jakarta Selatan? Hidup di perkotaan padat seperti Jakarta, hampir mustahil rasanya merintis usaha peternakan. Namun, hal yang tidak mungkin itu justru bisa dimentahkan oleh Abdul Latif.Dilansir dari akun youtube Naik Kelas, pria Betawi ini memilih usaha penggemukan atau peternakan sapi di Jalan Palem 2, Petukangan Utara, Jakarta Selatan.
"Perumahan itu persoalan sosial. Negara harus mengambil alih. Ini perumahan diserahkan ke pasar, jadinya seperti ini, berantakan," kata pria yang akrab disapa Yudha ini di Jakarta, Kamis (14/9).
Menurut Yudha, pembenahan politik perumahan dengan tidak pro pasar ini akan mendukung penggunaan teknologi properti sebagai alternatif material perumahan. Teknologi ini di antaranya rumah kayu dengan sistem knock down yang sudah banyak diterapkan di sejumlah proyek properti.
"Teknologi itu sudah lama diterapkan, model rumah cepat bangun sudah dicoba diaplikasikan lama, tapi di Indonesia persoalannya itu kebijakan properti yang terlalu pro pasar, jika dibenahi, maka semua teknologi properti bisa diterapkan," ucapnya.
Yudha memaparkan, di luar negeri terutama negara maju, mereka menggunakan pendekatan sosial housing khusus rumah subsidi. Skema tersebut membolehkan seseorang menyewa rumah hingga 20 sampai 30 tahun. Sebab properti tersebut dimiliki negara dan harga sewa dikontrol dikendalikan pemerintah.
Dia menyarankan pemerintah membeli tanah dan memiliki land bank alias bank tanah yaitu membeli ketika harga tanah masih begitu murah, lalu disiapkan skema pengembangan perumahan. Dengan beban harga tanah ditanggung negara, harga rusunawa lebih terjangkau.
Yudha menambahkan, persoalan lain yang dihadapi saat ini, tidak ada database yang pasti siapa yang berhak mendapat subsidi perumahan. Seringkali rumah subsidi itu justru dibeli untuk investasi oleh mereka yang berduit, sehingga orang yang butuh rumah tidak punya rumah tidak kebagian.
Masalah yang juga dihadapi adalah rusunami yang diserahkan ke pasar. Pola tersebut menjadikan mereka yang memiliki duit saja bisa bebas beli rumah dalam jumlah tak terbatas. Seperti rumah kedua, ketiga, dan seterusnya hingga puluhan, sehingga harga tidak bisa dikendalikan. Ketika properti yang dibeli disewakan kembali, harga juga tidak terkontrol.
"Akibat kebijakan rumah bermasalah, akhirnya beragam teknologi di properti, seperti rumah kayu menjadi tidak berkembang dengan sendirinya. Kalau semua diserahkan ke pasar, tidak ada kontrol, semua jadi mahal. Padahal perumahan ini menyangkut hajat hidup orang banyak tidak ada pilihan lain negara harus ambil alih," tuturnya.
Tak hanya itu, dia juga mengkritik Perumnas, BUMN pemerintah yang dinilai tidak punya peran karena kini hanya berjualan tanah sementara pembangunan diserahkan ke swasta. Ujungnya, dari sisi harga, makin mahal, karena swasta jadi penentu harga. Kalau seperti itu terus maka Perumnas layak dibubarkan.
"Anehnya perumahan diserahkan ke pasar tapi kalau jalan tol infrastruktur masih bisa dikendalikan negara, jasa marga memegang semua. Kan, harga tol yang menentukan pemerintah, kok untuk perumahan pemerintah tidak bisa mengatur," sindir Bambang.
Akibat sikap lemah dan malas pemerintah, sementara pengembang agresif, maka yang menjadi korban mereka yang belum memiliki rumah.
Yudha mengaku heran, untuk buat jalan tol infrastruktur pemerintah berani membeli tanah, bahkan dengan harga tinggi. Sedangkan tanah untuk program perumahan rakyat tidak berani. Kalau pun ada, pemerintah membeli di pinggir kota dan tidak ada akses, sehingga tak ada yang membeli. "Seringkali kalau untuk program rumah jawaban pemerintah jadi lebay, banyak dalih, " kata dia.
Baca juga:
Dari target 200.000, REI klaim telah bangun 108.000 hunian untuk rakyat miskin
Ini penjelasan asosiasi pengembang soal rumah subsidi enggan ditempati
Mendagri Tjahjo perintahkan kepala daerah mudahkan perizinan perumahan
Kolaborasi antar elemen jadi kunci wujudkan program satu juta rumah Jokowi
Asosiasi pengembang perumahan keluhkan sulitnya perizinan dari pemerintah daerah