PPN 12 Persen, Tarif Hotel Bakal Lebih Mahal dan Terancam Bangkrut
Ia memperingatkan bahwa beberapa kategori hotel dan restoran mungkin menghadapi risiko kebangkrutan.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, mengungkap bahwa harga hotel diperkirakan akan mengalami kenaikan akibat dari meningkatnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Ia memperingatkan bahwa beberapa kategori hotel dan restoran mungkin menghadapi risiko kebangkrutan.
- Anggaran Perjalanan Dinas Dipangkas, Pendapatan Hotel Bakal Anjlok Tahun Depan
- Hotel di Kalimantan Timur Laris Manis Berkat Perayaan HUT Kemerdekaan RI Perdana di IKN
- Tarif Hotel Sekitar IKN Dibanderol Hingga Rp20 Juta Per Malam Jelang Perayaan HUT RI, Pemerintah Respons Begini
- Jangan Sampai Tertipu, Perhatikan Hal Ini Jika Pesan Tiket Pesawat atau Kamar Hotel Secara Online
Menurutnya, beban PPN sebesar 12 persen ini akan langsung ditanggung oleh konsumen, karena setiap pasokan yang digunakan oleh hotel dan restoran juga akan dikenakan pajak. Dengan demikian, angka kenaikannya bisa jadi lebih signifikan.
“Soal hotel itu kan suplainya macam-macam ya, yang suplai ke hotel dan restoran itu, dan itu pasti kena PPN semua,” ujar Sutrisno saat ditemui di Kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Jakarta, pada hari Kamis (19/12).
Ia menambahkan bahwa kenaikan harga ini akan berdampak pada tingkat okupansi hotel. Dengan harga yang semakin tinggi, permintaan dari masyarakat cenderung menurun.
Selain itu, hotel juga harus menghadapi pemangkasan anggaran perjalanan dinas yang mencapai 50 persen, yang berarti kegiatan dinas di hotel akan berkurang.
“Jadi implikasinya apa? Kalau kemudian PPN naik itu kan pasti dibebankan kepada harga. Kalau harga naik, permintaan akan turun. Sementara dari sisi permintaan sekarang ini, adanya pembatasan 50 persen perjalanan dinas itu dihilangkan, itu saja sudah sangat memukul, ditambah lagi dengan harga naik,” jelasnya.
Kenaikan harga tersebut tentu akan meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh konsumen. Dari sudut pandang pengusaha, hal ini akan memberikan tekanan pada biaya operasional mereka.
“Semakin tidak ada orang yang kemudian menginap atau mengunjungi objek pariwisata. Itu implikasi dari PPN itu, belum lagi nanti kerumitan dari sisi administrasinya,” tambah Sutrisno.
Dengan situasi ini, industri perhotelan dan restoran dihadapkan pada tantangan yang cukup berat, yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha mereka di masa mendatang.
Hotel Dapat Mengalami Kebangkrutan
Sutrisno mengungkapkan bahwa ada kemungkinan sejumlah hotel dan restoran dari kategori tertentu akan mengalami kebangkrutan akibat tingginya beban operasional.
Beban ini meliputi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan kewajiban pembayaran gaji pegawai.
"Itu pasti, pasti (jumlah hotel berkurang). Kalau harga naik, permintaan akan turun. Itu hukum ekonominya akan begitu," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa beban yang harus ditanggung oleh perusahaan dimulai dari kenaikan upah yang bisa mencapai 9 persen, sebagai dampak dari penetapan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen.
Selain itu, penerapan PPN sebesar 12 persen yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 juga menjadi faktor yang mempengaruhi.
"Harga kan pasti akan naik. Naiknya karena apa? Satu, karena beban PPN. Dua, karena beban upah yang terlalu tinggi, 9 persen. Itu mau dibebankan ke mana kalau tidak dibebankan kepada harga? Kalau harga naik, orang tidak beli," jelasnya.
Dengan kondisi ini, dia mengingatkan bahwa pelaku usaha harus bersiap menghadapi perubahan yang mungkin terjadi di pasar, terutama dalam hal permintaan konsumen yang bisa berkurang.
Tingkat Okupansi Hotel
Menurut catatan yang ada, saat ini tingkat hunian hotel bintang 4 dan bintang 5 hanya mencapai sekitar 55 persen. Sementara itu, hotel-hotel dengan kategori di bawahnya mengalami tingkat pengisian yang lebih rendah, yaitu sekitar 40 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa hotel-hotel tersebut diperkirakan akan menghadapi dampak yang lebih serius. Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah kebangkrutan usaha mereka.
"Jadi yang terkena itu kan hotel-hotel kecil itu. Yang ternyata di situ memang padat karya," jelasnya.
"Yang gede lumayan (bisa bertahan), karena hotel-hotel gede itu kan yang datang kan orang berduit, sehingga kenaikan harga sedikit tidak terlalu terasa. Tapi hotel yang bawah, yang datang kan kelas menengah ke bawah. Jadi harga naik sedikit, ya sudah, dia tidak beli, tidak nginep lagi."
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hotel-hotel kecil lebih rentan terhadap perubahan harga dan kondisi ekonomi saat ini, sedangkan hotel-hotel besar masih memiliki kemampuan untuk bertahan meskipun ada kenaikan harga.