PR Prabowo-Gibran Usai Dilantik: Perkuat Penegakan Hukum Terkait Pajak untuk Tingkatkan Penerimaan Negara
Selain meningkatkan pemungutan dan penerimaan pajak, penguatan penegakan hukum dengan lebih konkret juga dapat mengurangi potensi kebocoran.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka perlu memperkuat penegakan hukum untuk meningkatkan penerimaan pajak.
“Kalau dilihat kan memang banyak kasus yang mana penegakan hukum masih cukup lemah, jadi tax collection (pemungutan pajak) juga masih rendah, jadi hal-hal seperti itu yang memang perlu dikuatkan,” kata Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky dikutip dari Antara, Jumat (18/10).
- Pesan Tegas Prabowo di Hakordia buat Penegak Hukum: Tidak Boleh Ragu Berantas Korupsi!
- 33 Kepala Negara Bakal Hadir di Pelantikan Prabowo-Gibran Besok
- Prabowo-Gibran Targetkan Penerimaan Cukai Minuman Berpemanis Rp3,8 Triliun di 2025
- Kubu Prabowo-Gibran Minta MK Hadirkan Kepala BIN Jadi Saksi Sengketa Pilpres
Dia mengatakan bahwa selain meningkatkan pemungutan dan penerimaan pajak, penguatan penegakan hukum dengan lebih konkret juga dapat mengurangi potensi kebocoran pajak, seperti yang tertuang dalam Program Kerja Asta Cita ke-7 pemerintahan Prabowo-Gibran.
Salah satu misi yang tertuang dalam Asta Cita tersebut adalah reformasi tata kelola pemerintahan dengan mencegah kebocoran pendapatan negara dan pajak di bidang sumber daya alam dan komoditas bahan mentah.
Riefky menuturkan, meningkatkan pendapatan negara juga dapat dilakukan dengan menyerap lebih banyak tenaga kerja di sektor formal, sehingga bisa mendorong kenaikan penerimaan pajak, terutama dari Pajak Penghasilan. Dia mengatakan bahwa kini sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan pekerja informal di sektor jasa maupun perdagangan. Hal tersebut mengurangi potensi kontribusi mereka terhadap pajak, apalagi di tengah pelemahan daya beli masyarakat saat ini.
"Sekarang daya beli kelas menengah menurun ini kan pasti potensi kontribusi pajaknya juga menurun, dan semakin besar penduduk yang bekerja di sektor informal juga potensi untuk mereka berkontribusi terhadap penerimaan fiskal juga semakin turun," jelasnya.
Kebijakan soal Produktivitas Industri
Selain itu, Riefky juga meminta pemerintah mendatang untuk merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan produktivitas sektor industri dan manufaktur agar dapat meningkatkan kontribusi mereka terhadap penerimaan negara.
Dia menyampaikan bahwa mengenakan lebih banyak jenis pajak terhadap sektor-sektor tersebut justru bukanlah kunci untuk meningkatkan kontribusi mereka.
"Kalaupun mau dinaikkan (penerimaan pajaknya), memang perlu langkah yang lebih konsekuen dan lebih gradual (bertahap) untuk tidak menimbulkan unintended consequences (konsekuensi yang tidak diinginkan) di perekonomian," ujarnya.
Sementara terkait pembentukan Badan Penerimaan Negara, Riefky mengatakan bahwa praktik pemisahan antara Kementerian Keuangan dan lembaga penerimaan telah dilakukan secara efektif di banyak negara.
Meskipun begitu, dia menyoroti sejumlah tantangan bagi pemerintahan mendatang dalam melakukan praktik tersebut, salah satunya mempersiapkan transisi pemisahan kedua institusi tersebut.
"Yang mungkin juga menjadi isu adalah sinkronisasi fiskal dari sisi belanja dan penerimaan ini, kan dulu di bawah satu kementerian, lalu dipisah, nah ini mungkin perlu dipikirkan bagaimana nanti sinkronisasinya," imbuhnya.
Pendirian Badan Penerimaan Negara yang baru dan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 23 persen merupakan salah satu dari delapan program hasil terbaik cepat (quick win) yang diusung oleh Prabowo-Gibran.
Hal tersebut dilakukan agar dapat meningkatkan anggaran pemerintah untuk menjalankan berbagai program pembangunan yang berdampak ekonomi.