Sri Mulyani Apresiasi Kesepakatan Perpajakan Internasional
Dia menjelaskan, kesepakatan tersebut bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan titik awal yang kuat untuk merumuskan jalan ke depan untuk memastikan implementasi berjalan lancar.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengapresiasi kesepakatan bersejarah mengenai perubahan arsitektur perpajakan internasional menjadi lebih stabil dan adil. Kesepakatan ini sejalan dengan agenda reformasi perpajakan yang tengah digulirkan Pemerintah Indonesia untuk dapat meningkatkan penerimaan pajak dengan sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.
Terdapat dua pilar yang dihasilkan dari kesepakatan tersebut. Pilar pertama yakni mengalokasikan kembali beberapa hak perpajakan untuk memberikan hak kepada yurisdiksi pasar mengenakan pajak atas bagian dari keuntungan perusahaan multinasional besar. Pilar kedua mengenai pengenaan tarif pajak perusahaan minimum global sebesar 15 persen untuk mengatasi persaingan pajak.
-
Kapan Alun-alun Puspa Wangi Indramayu diresmikan? Sebelumnya alun-alun ini diresmikan pada Jumat (9/2) lalu, setelah direnovasi sejak 19 Mei 2021.
-
Kapan Purnawarman meninggal? Purnawarman meninggal tahun 434 M.
-
Bagaimana Sri Isyana Tunggawijaya memerintah? Sri Isyana Tunggawijaya adalah raja perempuan Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang memerintah berdampingan bersama dengan suaminya yang bernama Sri Lokapala.
-
Di mana Sri Mulyani dilahirkan? Sri Mulyani lahir di Tanjung Karang, Lampung, 26 Agustus 1962.
-
Kenapa Siti Purwanti meninggal? Diketahui bahwa mendiang Siti Purwanti telah lama menderita penyakit jantung dan gagal ginjal.
-
Kapan Ghea Indrawari berencana menikah? "Fun fact, dari aku kecil, aku bilang ke teman-teman aku paling cepat nikah umur 30,"
"Komponen kunci dari dua pilar tentang realokasi keuntungan perusahaan multinasional dan juga pajak minimum global yang efektif sangat penting untuk memperbarui sistem pajak internasional yang ada untuk mencapai globalisasi yang adil dan inklusif, sederhana dan adil untuk negara maju dan negara berkembang," kata Sri Mulyani dalam Pertemuan G20 Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG), ditulis Senin (12/7).
Dia menjelaskan, kesepakatan tersebut bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan titik awal yang kuat untuk merumuskan jalan ke depan untuk memastikan implementasi berjalan lancar.
"Kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan OECD, Kerangka Inklusif G20 di BEPS untuk segera mengatasi masalah yang tersisa dan menyelesaikan elemen desain dalam kerangka yang disepakati pada Oktober 2021. Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022 berkomitmen untuk menjaga momentum dalam implementasi kesepakatan tersebut," ujarnya.
Kesepakatan ini mencerminkan keberhasilan multilateralisme dalam mengatasi tantangan global, khususnya memerangi praktik Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dan 'race to the bottom' dalam perpajakan internasional.
"Ini adalah momen bersejarah. Saya ingin menyampaikan penghargaan kami kepada Presidensi G20 Italia serta OECD atas kepemimpinan mereka dalam mencapai kesepakatan bersejarah ini tentang arsitektur pajak internasional yang lebih stabil dan lebih adil,? jelasnya.
Bendahara Negara ini juga memberikan apresiasi atas inisiatif yang relevan dan tepat waktu dari Presidensi G20 Italia pada Simposium Pajak Tingkat Tinggi G20 tentang Kebijakan Pajak dan Perubahan Iklim. "Ini juga merupakan forum yang sangat baik sebagai dasar untuk mengumpulkan informasi, pengetahuan, dan juga untuk lebih membingkai diskusi yang sedang berlangsung tentang kebijakan mitigasi iklim," ungkapnya.
Soroti Tiga Isu Utama
Dalam kesempatan tersebut, dirinya juga menyoroti tiga isu utama yang diharapkan dapat meningkatkan dialog mengenai iklim di jalur keuangan G20. Pertama, penting untuk mendorong partisipasi sektor swasta dalam mengatasi tantangan iklim dengan memperkuat dan memperluas jangkauan platform pembiayaan.
"Pendekatan multidimensi, termasuk desain insentif pajak, sangat penting untuk memfasilitasi dan menyalurkan bagian keuangan dan investasi swasta yang jauh lebih besar ke arah pilihan yang lebih berkelanjutan dan rendah karbon," tegasnya.
Kedua, pedoman dan kerangka pembiayaan iklim, seperti penetapan harga karbon, mekanisme insentif, dan pembiayaan inovatif, diperlukan untuk memberikan opsi alternatif untuk mempercepat aksi iklim.
"Ketiga, penilaian komprehensif tentang dampak ekonomi dari perubahan iklim, termasuk mengenali implikasi luas dari kebijakan terkait iklim, penting untuk memastikan diskusi di G20 seimbang," tutupnya.
(mdk/idr)