Strategi Begini Bisa Diterapkan untuk Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak
Untuk mengoptimalkan kepatuhan pajak dari sisi WP, pertama-tama WP perlu untuk mampu memahami peraturan dan kebijakan perpajakan.
CRM merupakan suatu sistem yang dibuat untuk pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak, dengan membangun profil risiko WP dengan lebih tepat.
Strategi Begini Bisa Diterapkan untuk Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak
Strategi Begini Bisa Diterapkan untuk Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berupaya mengoptimalkan kepatuhan Wajib Pajak (WP), salah satunya melalui sistem bernama Compliance Risk Management (CRM).
CRM merupakan suatu sistem yang dibuat untuk pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak, dengan membangun profil risiko WP dengan lebih tepat.
Partner Tax RSM Indonesia, Eny Susetyoningsih menjelaskan bahwa untuk mengoptimalkan kepatuhan pajak dari sisi WP, pertama-tama WP perlu untuk mampu memahami peraturan dan kebijakan perpajakan mengingat kian dinamisnya penerbitan aturan perpajakan.
Dia mengatakan, masih adanya kemungkinan WP yang belum menerima sosialisasi perpajakan terbaru serta masih minimnya pengatahuan WP atas peraturan dan kebijakan pajak, menjadikan peran konsultan pajak menjadi sangat dibutuhkan.
"Dengan adanya bantuan konsultan pajak, akan terjalin diskusi terkait identifikasi permasalahan, dan data atau keterangan yang harus dipenuhi WP. Kemudian, jika WP menerima Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), penting juga untuk memahami bagaimana berkomunikasi dengan petugas KPP, membuat berita acara, hingga mengetahui konsekuensi yang timbul jika menyampaikan penjelasan dalam waktu yang ditetapkan,” jelas Eny.
Partner Tax RSM Indonesia, T Qivi Hady Daholi mengatakan, pengejawantahan DJP sebagai data driven organization adalah adanya CRM. Intinya DJP bergerak ke data, semua harus berdasarrkan data dan CRM jadi tools untuk pijakan/indikator yang terukur. Alat untuk mengukur kepatuhan. Kalau WP tidak patuh yang direkomendasikan oleh CRM, akan ada tindak lanjut.
Oleh karena itu menurut Qivi, penting para WP untuk lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam implementasi CRM. Qivi menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 6 peta risiko kepatuhan CRM berdasarkan fungsinya yang wajib jadi perhatian WP. Dalam tiap fungsi, kata Qivi, penting bagi WP untuk melakukan beberapa upaya guna tetap mengoptimalkan kepatuhan pajak.
Pertama, dalam peta risiko kepatuhan CRM fungsi ekstensifikasi, penting bagi WP Orang Pribadi (WP OP) untuk melakukan validasi NIK menjadi NPWP. Hal ini memudahkan masyarakat untuk tidak perlu mendaftarkan diri ke KPP termasuk pelaporan penghasilan, harta dan kewajiban pada SPT Tahunan WP OP.
Kedua, dalam fungsi pelayanan, WP perlu membangun sistem administrasi perpajakan yang baik di internal WP, mulai dari pendaftaran PKP, pelaporan tepat waktu, pembayaran dan pelaporan dengan benar.
Ketiga, dalam fungsi edukasi perpajakan, upaya yang dapat dilakukan WP adalah menghadiri sasaran kegiatan yang sudah ditetapkan oleh KPP jika namanya dicantumkan dalam Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3).
Keempat, kata Qivi, dalam fungsi pemeriksaan dan fungsi pengawasan, penting bagi WP untuk tidak hanya memiliki sistem administrasi perpajakan yang baik, tapi juga sebaiknya berkonsultasi dengan konsultan pajak dan kooperatif dengan petugas pajak jika dimasukkan ke dalam DSP3.
Kelima, dalam fungsi penagihan, Qivi menjelaskan bahwa WP perlu memiliki jadwal pembayaran yang disiplin terkait dengan angsuran dan penundaan pembayaran utang pajak agar dapat menjaga cashflow perusahaan, serta mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
Keenam, dalam implementasi CRM Transfer Pricing, WP penting untuk menyiapkan TP Documentation seperti Dokumen Induk, Dokumen Lokal, dan Laporan Per Negara, serta memastikan TP Documentation dilaporkan sesuai dengan tenggat waktu berdasar aturan pajak yang berlaku.
"Intinya, CRM paradigmanya adalah menuju cooperative compliance atau voluntary compliance, maka WP diharapkan semakin patuh dalam menyiapkan dokumen dan punya kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakan. Terlebih dengan adanya core tax system, WP nantinya akan semakin dimudahkan,” tutur Qivi.
Sebagai catatan, terhitung mulai 1 Juli 2024 nanti, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bakal mengimplementasikan Core Tax Administration System (CTAS).
CTAS akan menggantikan sistem lama yakni Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak. Kehadiran core tax system diyakini akan meningkatkan akuntabilitas, kredibilitas, kepercayaan publik, kepatuhan pajak, kinerja penerimaan, serta dapat menyajikan data perpajakan real time dan valid.