Tanpa definisi jelas, budaya batik rentan dicuri negara lain
Sebuah kain harus melalui proses khusus untuk bisa disebut batik.
Indonesia negara kaya akan kebudayaan. Sayangnya, kebudayaan kita tidak dilindungi sehingga banyak diklaim negara lain.
Batik, merupakan salah satu kebudayaan ciri khas dalam negeri. Namun, kini banyak negara tidak segan mengambil dan menjualnya di tiap produk yang dikeluarkan.
Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Mantan Presiden B.J Habibie, Rahardi Ramelan menilai diklaimnya batik oleh negara lain lantaran Indonesia belum mampu membuat kesepakatan terkait definisi batik itu sendiri.
"Padahal batik merupakan sebuah proses kerajinan dengan mencelupkan tinta warna pada kain," ujar Rahardi di Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Kamis (30/7).
Namun, lanjut Rahardi, dalam UU batik sebagai hak cipta justru mendefinisikan lain. Bahwa yang disebut batik adalah motif. "Di UU hak cipta yang baru agak lain. Yang disebut batik itu motifnya tradisional (yang dimiliki negara), dan batik kontemporer. Jadi di kita belum ada kesepakatan batik itu apa," tuturnya.
Definisi batik dinilai penting lantaran, anggapan negara lain, batik merupakan tekstil yang memiliki motif. "Karena kita tidak tahu batik sekarang bagaimana berkembangnya. Bagaimana memberikan batasannya itu agak susah. Jadi kita yang harus lebih gencar bahwa batik itu proses tadi. Batik hanya boleh disebut batik, jika melalui proses celup. Yaitu batik tulis, batik cap, dan kombinasi," jelasnya.
Ditambahkan Rahardi, saat ini industri tekstil berkembang dengan menghadirkan tekstil printing dimana hal itu serupa dengan batik.
"Kain mirip batik yang dihasilkan industri tekstil printing dihargai lebih murah batik asli seperti batik tulis atau batik cap," ujarnya.
"Ini yang sangat mengganggu pengrajin kita. Batik itu termasuk craft, yang dihasilkan oleh pengrajin. Saat ini yg jadi masalah soal harga dan pilihan. Batik cap harganya lumayan, tapi yang printing tekstil harganya murah," tandas Rahardi.