Ternyata Harga BBM di Indonesia Pernah Naik 60 Kali Lipat di Era Soekarno
Gejolak tiap kenaikan harga BBM bukan saja terjadi di era pasca orde baru era Soeharto.
Gejolak tiap kenaikan harga BBM bukan saja terjadi di era pasca orde baru era Soeharto.
Ternyata Harga BBM di Indonesia Pernah Naik 60 Kali Lipat di Era Soekarno
Ternyata Harga BBM di Indonesia Pernah Naik 60 Kali Lipat di Era Soekarno
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang sangat sensitif untuk dibahas. Setiap kali rencana kenaikan BBM mencuat, gejolak sosial di masyarakat mulai terasa, dan berdampak terhadap kenaikan komoditas lainnya. Gejolak tiap kenaikan harga BBM bukan saja terjadi di era pasca orde baru era Soeharto. Di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, gejolak harga BBM menjadi isu panas di masyarakat.
-
Siapa yang menentang kebijakan subsidi BBM di era Soeharto? Subsidi BBM Ditentang Habibie Satu sisi, Presiden ketiga Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie pada tahun 2014 pernah menyatakan dia tidak setuju bila BBM terus disubsidi.
-
Apa alasan utama Soeharto memberikan subsidi BBM? Alasan pemberian subsidi BBM karena harga jual BBM terutama minyak tanah, berada di bawah biaya produksinya.
-
Bagaimana cara Soeharto mempertahankan kebijakan subsidi BBM? Sayangnya, saran Habibie yang kala itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi tak digubris. Soeharto berkukuh mempertahankan subsidi, dengan alasan negara masih punya uang.
-
Kenapa subsidi BBM dimulai di era Soeharto? Alasan pemberian subsidi BBM karena harga jual BBM terutama minyak tanah, berada di bawah biaya produksinya.
-
Siapa yang bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.
-
Bagaimana Soeharto mengenal keluarga BJ Habibie? Soeharto mengaku cepat akrab dengan keluarga BJ Habibie karena ibu Habibie, Raden Ayu Tuti Marini Puspowardojo atau R.A. Habibie yang berasal dari Yogyakarta masih fasih berbahasa Jawa.
Pada tahun 1963-1965, Indonesia mengalami hiperinflasi sebesar 635 persen.
Kondisi ini diperparah menjelang tragedi Gerakan 30 September 1965. Dalam buku berjudul 'Jakarta 1950-1970', seorang dokter bernama Firman Lubis mengutarakan kondisi ekonomi Indonesia saat itu amat kacau.
"Inflasi melangit dan menyebabkan nilai rupiah merosot tajam dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai gambaran, ongkos naik bus umum yang pada tahun 1962 masih Rp1 berubah menjadi Rp1000 pada tahun 65,"
kata Firman.
Di tahun 1965, pemerintah memutuskan untuk menaikan harga BBM. Tujuannya demi mengendalikan hiperinflasi dan menambah pendapatan negara. Namun, kebijakan tersebut menjadi blunder. Ibnu Sutowo yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina (persero) dalam buku autobiografinya, mengaku mendapatkan instruksi dari Wakil Perdana Menteri III yang merangkap Menko Kompartemen Pembangunan, Chaerul Saleh, untuk menandatangani sebuah perintah menaikkan harga bensin dari Rp4 menjadi Rp250 per liter.Dengan demikian, kenaikan harga bensin itu lebih dari 60 kali lipat atau mencapai 6.250 persen.
Begitu juga dengan harga minyak tanah yang naik dari Rp15 menjadi Rp150 per liternya. Setelah menaikkan harga bensin, pada 13 Desember 1965 pemerintah kemudian melakukan sanering atau pemotongan uang. Sehingga, nilai uang Rp1.000 menjadi Rp1 uang baru. Tetap saja, kebijakan itu tidak banyak menolong karena hiperinflasi tetap tidak terkendali.
Meski tidak berdampak baik, kebijakan sanering tetap dilakukan pemerintah pada 3 Januari 1966. Pemerintah kembali menaikkan harga bensin 4 kali lipat dari Rp250 menjadi Rp1.000 atau Rp1 uang baru.
Amarah publik mulai meledak, para mahasiswa turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi.
Dalam buku Zaman Peralihan, aktivis keturunan China, Soe Hok Gi menyebut pada 15 Januari tahun 1966 Soekarno menantang siapa saja yang dapat menurunkan harga dalam waktu 3 bulan akan diangkat menjadi menteri, tetapi kalau gagal akan ditembak mati.
Tantangan itu direspon Hadely Hasibuan.
Dia seorang pengacara. Hadley menyusun konsep untuk menurunkan harga dalam 3 bulan.
Namun konsepnya ditolak karena dianggap bertentangan dengan perjuangan revolusi Indonesia.
Demonstrasi terus berlanjut. Hingga akhirnya pemerintah menurunkan harga bensin dari Rp1.000 per liter menjadi Rp500 per liter. Akan tetapi, harga lainnya tetap bertahan.
Kepemimpinan Soekarno selesai. Kemudian dilanjutkan Soeharto pada tahun 1968 hingga 1998. Di tahun 1968, harga BBM dijual Rp4 per liter. Namun di akhir masa pemerintahan Soeharto, harga bensin menjadi Rp1.000 per liter.
Selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden, harga BBM tercatat mengalami kenaikan 21 kali. Sementara sumber lain menyebutkan kenaikan BBM di era Soeharto sebanyak 18 kali.