Ungkap Data, Kemenperin Khawatir Aturan Rokok Polos Tanpa Merek Picu PHK dan Rugikan Ekonomi RI
dalam Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) salah satu aturan yang disoroti yakni nantinya, kemasan rokok harus polos tanpa merek.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Merrijantij Punguan Pintaria, menegaskan, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek rugikan banyak pihak.
Diketahui, dalam Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) salah satu aturan yang disoroti yakni nantinya, kemasan rokok harus polos tanpa merek.
- Aturan Rokok Kemasan Polos Disebut Ancam Mata Pencaharian 2,5 Juta Petani Tembakau, Benarkah?
- Sederet Reaksi Pemerintah atas Rencana Kemasan Polos Rokok
- Kemenkes Ramai Diprotes soal Aturan Tembakau, Ini Penyebabnya
- Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Tuai Protes Serikat Pekerja, Kemnaker Singgung Dampak Negatif Regulasi
Hal ini, diyakini berdampak terhadap perekonomian nasional dan masyarakat luas. Khususnya bagi industri hasil tembakau.
Merrijantij menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan keberlangsungan industri.
"Kami semua sepakat untuk menciptakan masyarakat yang sehat, tetapi kita juga harus mempertimbangkan keberadaan lebih dari 1.300 industri yang mempekerjakan sekitar 537 ribu orang," ujarnya, Jumat (20/9).
Angka tersebut menunjukkan tenaga kerja langsung yang diserap pabrikan pada industri tersebut. Lebih dari itu, industri hasil tembakau juga menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 6 juta tenaga kerja, termasuk petani tembakau dan cengkih hingga peritel.
5 Tahun Terakhir
Menurut dia, dalam lima tahun terakhir, industri tembakau mengalami penurunan signifikan, terutama di golongan rokok yang lebih mahal.
Penurunan sebesar 8,02% menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sensitif terhadap harga, yang mengarah pada pergeseran konsumsi ke rokok yang lebih murah.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya strategi kebijakan yang mempertimbangkan daya beli masyarakat. Merri, sapaan akrabnya, juga mencatat implementasi Pasal 435 PP 28/2024 mengenai standardisasi kemasan dan desain produk tembakau seharusnya melibatkan masukan dari Kemenperin.
Sayangnya, Kemenperin tidak dilibatkan dalam proses public hearing yang digelar oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sehingga suara mereka terabaikan.
"Kejadian ini berulang, dan kami berharap untuk diikutsertakan dalam diskusi kebijakan yang berpengaruh besar terhadap industri kami," katanya.
Lebih lanjut, Merri mengingatkan bahwa kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, yang telah diterapkan di beberapa negara, tidak serta merta menurunkan prevalensi perokok.
Sebaliknya, ada kemungkinan meningkatnya peredaran rokok ilegal.
“Pengendalian tembakau melalui kebijakan fiskal sudah memberikan kontribusi signifikan kepada negara, mencapai Rp213 triliun," jelasnya.
Hati-Hati Ambil Kebijakan
Hal ini menunjukkan bahwa industri tembakau menjadi sumber pendapatan penting bagi APBN, dan kebijakan yang mengancam pendapatan tersebut perlu dievaluasi dengan hati-hati.
Merri juga mempertanyakan adanya solusi atau substitusi yang jelas untuk menutupi potensi kehilangan pendapatan jika kebijakan tersebut diterapkan.
"Apakah kita sudah memiliki rencana untuk mengatasi dampak tersebut?" tanyanya.
Ia menekankan bahwa kebijakan yang diambil harus mencerminkan kepentingan nasional dan karakteristik masyarakat Indonesia, yang berbeda dengan negara-negara lain.
Di sisi lain, kontribusi industri tembakau terhadap perekonomian juga tidak bisa dipandang sebelah mata.
"Pada tahun 2020, kontribusi kami mencapai 10 persen terhadap APBN, namun di tahun 2023 menurun menjadi 7 persen. Ini cukup signifikan," jelasnya.
Dia juga menekankan pentingnya melibatkan semua stakeholder dalam diskusi kebijakan. Pihaknya berharap RPMK dapat didiskusikan ulang dengan partisipasi semua pihak.
Kebijakan tidak mungkin bisa memuaskan semua orang, tetapi harus mampu mencapai konsensus yang berarti.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berpesan untuk tidak merumuskan kebijakan ekstrem yang dapat menimbulkan gejolak di masa transisi pemerintahan.
Jokowi juga menekankan untuk menjaga situasi yang kondusif demi menjaga stabilitas pembangunan, dalam hal ini menjaga daya beli masyarakat, inflasi, pertumbuhan, keamanan, ketertiban.
“Menjaga situasi yang kondusif kita butuh stabilitas untuk melakukan pembangunan sehingga pastikan jangan sampai ada riak-riak gejolak sampai pemerintahan berikutnya terbentuk,” papar Jokowi belum lama ini.