Untung Tak Disahkan, RUU Pilkada Bakal Ciptakan Dinasti Politik dan Kantung Kemiskinan di Daerah
Arman bersyukur DPR bakal mengikuti putusan MK untuk ajang kontestasi 27 Agustus mendatang.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan cara paling sehat sebagai acuan dalam kontestasi Pilkada. Ketimbang mengikuti revisi undang-undang alias RUU Pilkada yang batal dilaksanakan DPR RI.
Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N Suparman mendukung putusan MK yang memberi ruang agar Pilkada tak hanya dikuasai oleh satu koalisi. Sehingga tidak terjadi adu banteng antara satu pasangan calon versus kotak kosong.
- Menko Luhut Tanggapi Heboh Putusan MK Ubah Syarat Pilkada: Ada Pihak yang Diuntungkan
- Parpol Bisa Usung Cagub Meski Tak Dapat Kursi DPRD, PDIP Gembira: Kemenangan Melawan Pembajak Demokrasi
- Buka Rapat Paripurna, DPR Singgung Etika Politik Siap Menang dan Kalah
- Memasuki Tahun Politik, Plt Ketum PPP Ajak Kader Ketuk Pintu Langit Jemput Kemenangan
"Sebetulnya ketika ada rencana revisi UU Pilkada, kami pertama mendukung putusan MK yang kemarin. Karena itu menurut kami ruang yang lebar untuk berkompetisi secara sehat," ujar Arman, sapaan akrabnya di Kantor APINDO, Jakarta, Jumat (23/8).
Arman bersyukur DPR bakal mengikuti putusan MK untuk ajang kontestasi 27 Agustus mendatang. Karena jika tidak, oligarki dan dinasti politik akan punya keleluasaan untuk berkuasa.
Sebab menurut pengamatannya, daerah-daerah yang dipimpin oleh politik dinasti punya tingkat kemiskinan luar biasa besar.
"Kita harus lihat, daerah yang dipimpin oleh dinasti politik itu daerah-daerah yang memiliki kantung-kantung kemiskinan luar biasa. Karena itu sebetulnya kami di KPPOD concern benar mendukung putusan MK yang kemarin. Pilkada itu diharapkan bisa melahirkan kepala-kepala daerah yang punya kapasitas dan integritas," tegasnya.
Regulasi Harus Libatkan Banyak Pemangku Kepentingan
Tak hanya berhenti di urusan Pilkada saja, dia meminta penyusunan regulasi juga lebih banyak melibatkan tak hanya pemangku kepentingan dan pengusaha besar, tapi juga publik secara keseluruhan.
Pasalnya, sejauh ini dia mencatat adanya beberapa peraturan pusat dan daerah (Perda) turunan UU Cipta Kerja yang dibuat terburu-buru lantaran terpenjara dengan target-target politik tertentu. Arman mengambil contoh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
"Kita harapkan partisipasi publik tidak hanya dunia usaha, tapi juga unsur-unsur yang lain. Masyarakat adat, para pelaku UMKM benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan seperti itu," tutur dia.