Wacana Kemasan Rokok Polos, Bisa Bikin Gelombang Lanjutan PHK
Aturan ini dianggap diskriminatif terhadap produk tembakau.
Berbagai lapisan masyarakat terdampak mulai dari asosiasi pengusaha, petani, hingga peritel, menyuarakan penolakan terhadap kebijakan standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Besarnya kekhawatiran pihak terdampak disoroti oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang ikut menyayangkan kemunculan aturan ini karena dinilai sangat diskriminatif terhadap produk tembakau dan keberlangsungan mata rantainya.
- Aturan Rokok Kemasan Polos Disebut Ancam Mata Pencaharian 2,5 Juta Petani Tembakau, Benarkah?
- Wacana Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Begini Sikap HKTI Beri Harapan pada Prabowo
- Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos Berpotensi Tambah Rentetan PHK, Anggota DPR Minta Ini ke Pemerintah
- Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos, Pengusaha Ritel Khawatir Masyarakat Sulit Membedakan Produk
Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta kepada seluruh pihak untuk melihat permasalahan ini tidak hanya dari sudut pandang kesehatannya saja, tetapi juga perlu menelisik keseimbangannya.
Karena faktanya, tembakau adalah komoditas unggulan nasional yang sangat digantungkan oleh jutaan orang mulai dari buruh pekerja, petani tembakau, dan peritel beserta keluarganya.
Rahmad juga menyoroti ketika ada kebijakan yang berimplikasi buruk terhadap sektor pertembakauan nasional. Artinya dampak negatif jelas akan menghimpit industri hasil tembakau secara keseluruhan dari hulu hingga ke hilir dan berimplikasi kepada masyarakat secara luas.
Hal ini semakin mengkhawatirkan, apalagi di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di berbagai sektor industri. Sehingga, perumusan aturan diharapkan dapat berimbang, mempertimbangkan dampaknya, dan tidak memunculkan masalah baru.
“Kita harus balance dalam membuat kebijakan. Pengendalian itu harus, tapi jangan menyelesaikan masalah dengan memunculkan masalah baru. Jangan sampai menimbulkan dampak negatif yang baru,” ujarnya dilansir dari Liputan6.com, Minggu (15/9).
Kenaikan tarif cukai rokok
Selain itu, Rahmad juga menyoroti banyaknya kebijakan yang telah dirasakan oleh sektor pertembakauan seperti kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) eksesif yang telah mendorong penyebaran rokok ilegal. RPMK yang memaksa kemasan rokok polos tanpa merek diyakini kian memperparah kondisi sebelumnya.
“Terkait dengan pihak yang harus dilindungi, saya mengajak semua pihak untuk menyelesaikan dengan duduk bersama. Karena prevalensi perokok itu bisa ditekan, yang penting kan prevalensinya menurun. Ketika banyak penolakan, ini pun banyak yang setuju. Jalan keluarnya adalah titik temu, jadi silakan berembuk dan mencari solusinya bersama,” pungkasnya.
Dari sisi ketenagakerjaan, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan menekankan bahwa aturan inisiatif Kemenkes ini jelas merugikan berbagai sektor karena cenderung mengabaikan fakta bahwa tembakau masih menjadi sumber penghidupan banyak orang. Dia menilai, usulan Kemenkes dalam bentuk RPMK ini tidak mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi.
“Ini akan berdampak kepada PHK massal dan akan berdampak ke perekonomian, termasuk UMKM. Ini yang seharusnya diatur sebaik mungkin,” jelasnya.
Sumbang pendapatan negara
Daniel menjelaskan selama ini industri tembakau telah menyumbang pendapatan yang besar melalui cukai sehingga penurunan produksi rokok jelas akan mengurangi penerimaan negara yang berdampak kepada APBN.
Maka apabila peraturan ini dijalankan, target penerimaan cukai negara tidak akan tercapai dan terancam defisit. Padahal, di sisi lain, pemerintah tengah memerlukan anggaran besar untuk program-program prioritas.
“Aturan ini dianggap terlalu mengekang kebebasan berekspresi dalam konteks ekspresi untuk industri tembakau, padahal toh bisa disesuaikan dan juga ada lembaga sensor yang sudah menjalankan aturannya. Yang perlu kita dorong adalah aturan yang memajukan industri kreatif sebagai medium suatu ekspresi, bukan malah menekannya,” tegasnya.