Ahli Ungkap Arah Kebijakan Donald Trump di Timur Tengah dan Kemerdekaan Palestina Setelah Terpilih Jadi Presiden AS
Trump mengalahkan kandidat Demokrat, Kamala Harris pada pemilihan presiden yang berlangsung Selasa (5/11).
Donald Trump akan segera kembali ke Gedung Putih dengan komitmen untuk mengakhiri konflik di luar negeri. Di kawasan Timur Tengah, dia dihadapkan pada dua perang yang semakin memanas, yaitu di Jalur Gaza dan Lebanon. Trump memperkenalkan dirinya kepada pemilih Amerika Serikat (AS) sebagai sosok pemimpin dan negosiator yang handal. Saat ditanya mengenai perang yang terjadi di Jalur Gaza, dia menyatakan, "Ingin menyelesaikannya dan mari kita kembali ke perdamaian dan berhenti membunuh orang."
Perang genosida Israel ke Jalur Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023, setelah serangan Hamas ke wilayah selatan Israel pada hari yang sama. Sementara itu, Hizbullah mulai menembakkan roket ke Israel pada hari berikutnya sebagai bentuk dukungan terhadap Palestina. Dengan serangan udara yang menghancurkan dan invasi darat, Israel telah membunuh lebih dari 43.000 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak. Sementara itu di Lebanon, Israel telah membunuh sekitar 3.000 orang sejak tahun lalu.
Konflik di Lebanon dianggap telah berkembang menjadi pertempuran regional yang bertujuan untuk menyesuaikan kembali kekuatan di Timur Tengah, dengan Israel dan AS berada di satu sisi, sementara Iran dan kelompok yang dikenal sebagai "poros perlawanan" di sisi lainnya. Pernyataan Trump mengenai niatnya untuk mengakhiri perang dan menarik diri dari Timur Tengah akan bertentangan dengan dukungannya yang kuat terhadap Israel serta keinginannya untuk menerapkan kembali kebijakan "tekanan maksimum" terhadap Iran.
"Trump kemungkinan besar akan melihat Iran sebagai ancaman nyata yang perlu diatasi, bukan melalui cara militer, tetapi dengan penegakan sanksi yang ketat, terutama terhadap ekspor minyak Iran," ungkap James Jeffrey, mantan pejabat senior AS untuk Trump, kepada Middle East Eye seperti yang dikutip pada Jumat (8/11/2024).
Trump juga menekankan keyakinannya bahwa Iran berada dalam "banyak bahaya" setelah serangan Israel terhadap poros perlawanan. Komentar tersebut muncul sebelum Israel meluncurkan serangan langsung ke Iran.
Konflik di Lebanon
Di antara dua konflik yang terjadi di Timur Tengah, fokus utama kampanye Trump adalah mengakhiri perang di Lebanon. Ia secara tegas menyatakan keinginannya untuk "menghentikan penderitaan dan kehancuran" yang dialami negara Mediterania tersebut bulan lalu. Daya tarik Trump tampaknya juga didorong oleh pengaruh penasihatnya asal Lebanon, Massad Boulos, yang putranya menikahi putri Trump, Tiffany. Boulos turut mendukung kampanye Trump di Michigan.
Dalam konteks Lebanon, Trump akan melanjutkan rancangan awal pemerintahan Biden mengenai gencatan senjata. Rencana tersebut mencakup peningkatan jumlah pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon, penempatan tentara Lebanon di wilayah selatan negara itu, serta memberikan lebih banyak keleluasaan kepada Israel untuk beroperasi di Lebanon.
"Pada dasarnya, Lebanon akan berubah menjadi Suriah," ungkap seorang mantan pejabat senior AS yang terlibat dalam kampanye Trump sebelumnya.
"Israel dapat bertindak sesuai keinginan jika merasa terancam, seperti yang terjadi di Suriah, tetapi Hizbullah tidak akan menyerahkan kekuasaan de facto-nya seperti yang dilakukan Bashar Assad."
Namun, Alan Pino, mantan pejabat CIA dan Dewan Intelijen Nasional untuk Timur Tengah, berpendapat bahwa Hizbullah tidak akan memberikan terlalu banyak wilayah kepada tuntutan AS. Hal ini karena mereka khawatir akan membatasi mobilitas dan kemampuan mereka untuk mempersenjatai kembali.
"Hizbullah tidak ingin terlihat terlalu lemah karena khawatir hal itu dapat mendorong lawan-lawan domestiknya untuk memanfaatkan mereka," jelas Pino.
"Warga Israel yang dievakuasi dari utara akan mendesak adanya jaminan kuat yang dapat menghentikan Hizbullah sebelum mereka kembali ke rumah mereka."
Sekitar 60.000 warga Israel telah mengungsi akibat serangan roket Hizbullah, sementara 1,2 juta warga Lebanon juga mengungsi akibat serangan Israel.
Kemerdekaan Palestina
Usaha Trump untuk mencari penyelesaian atas konflik di Jalur Gaza akan menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan konflik di Lebanon. Berbeda dengan pemerintahan Biden yang menolak menggunakan transfer senjata sebagai alat untuk mempengaruhi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam menekan Israel untuk bernegosiasi, Trump mungkin akan mengambil langkah yang berbeda.
Saat ini, pembicaraan mengenai gencatan senjata mengalami kebuntuan, dengan perbedaan yang signifikan antara Hamas dan Israel. Hamas menuntut agar perang dihentikan secara permanen sebagai syarat untuk pembebasan sandera, sementara Israel menolak untuk berkomitmen pada gencatan senjata permanen.
Israel juga menegaskan keinginannya untuk mengendalikan penyeberangan di Rafah, yang berbatasan dengan Mesir, serta mempertahankan kontrol atas Koridor Netzarim yang memisahkan Gaza Utara dan Selatan. Namun, kedua tuntutan ini ditolak oleh Hamas. Pada hari Selasa (5/11), Netanyahu mengambil keputusan untuk memecat Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang telah mengkritik kelanjutan operasi militer di Jalur Gaza tanpa adanya rencana politik yang jelas. Dia kemudian menggantinya dengan seorang loyalis, mantan menteri luar negeri, Israeli Katz.
"Peristiwa bersejarah kembalinya Anda ke Gedung Putih menawarkan awal baru bagi AS dan komitmen kuat terhadap aliansi besar antara Israel dan AS. Ini adalah kemenangan besar!" tulis Netanyahu melalui platform media sosial X.
Para anggota sayap kanan dalam pemerintahan Israel juga merayakan kemenangan Trump dalam Pilpres AS 2024. Itamar Ben Gvir, yang telah mendesak Israel untuk kembali menduduki Jalur Gaza dan mengancam akan menggulingkan pemerintahan Netanyahu jika dia setuju untuk gencatan senjata, mengekspresikan dukungannya dengan menulis "God Bless Trump" setelah kemenangan tersebut. Jika Trump memberikan ruang bagi gerakan pemukim sayap kanan di Israel, hal ini dapat mengakhiri setiap peluang untuk gencatan senjata di Jalur Gaza.
"Jika Trump cerdas, dia harus bekerja sama dengan Israel untuk menciptakan jalan menuju Negara Palestina," ungkap Pino.
"AS perlu memikirkan (tentang) apa yang melayani kepentingan AS dalam jangka panjang."