Dua Sisi dari Mata Uang yang Sama, Donald Trump dan Kamala Harris di Mata Warga Palestina
Siapa pun yang menjadi presiden AS, baik Donald Trump atau Kamala Harris, dukungan AS untuk Israel tetap sama.
Amerika Serikat (AS) akan menggelar pemilihan presiden pada 5 November besok. Namun bagi rakyat Palestina yang tengah menghadapi perang genosida Israel di Gaza, hasil pilpres AS tak akan mengubah apapun.
Siapa pun yang menjadi presiden AS, baik Donald Trump atau Kamala Harris, dukungan AS untuk Israel tetap sama. Sejak 7 Oktober 2023, Israel telah membunuh lebih dari 43.000 warga Palestina di Gaza, dan melukai sekitar 101.500 lainnya.
"Kami tidak berharap apa-apa dari pemerintahan AS yang akan datang atau kandidat siapa yang bakal menang pemilihan," kata koordinator Komite Nasional Palestina untuk Boikot Israel (BDS), Mahmoud Nawajaa kepada Anadolu pada Rabu lalu.
"Genosida sedang dilakukan terhadap saudara-saudara kami di Gaza, dan seluruh kejahatan lainnya yang sedang berlangsung di Palestina dan Lebanon tidak akan terjadi tanpa dukungan AS," lanjutnya, seperti dikutip dari laman Anadolu, Senin (4/11).
"Pemilihan AS tidak akan mengubah apapun."
"Pemerintah AS terlibat dan sekutu dalam kejahatan genosida dan segala yang sedang terjadi di Lebanon dan seluruh pengeboman dan penghancuran di Irak dan Yaman," sambungnya.
Pilpres AS, kata Nawajaa, tidak akan membuat perbedaan apapun.
"Satu-satunya perbedaan terletak pada kemampuan rakyat Palestina dan negara-negara Arab untuk menekan rezim kolonial agar mengubah posisi mereka dan berupaya menuju runtuhnya sistem kolonial," tegasnya.
Sisi Koin yang Sama
Pandangan yang sama juga dilontarkan koordinator Anti-Apartheid Wall Campaign (Stop the Wall), Jamal Juma.
“Kami tidak menaruh kepercayaan apa pun pada pemilu AS,” katanya kepada Anadolu.
“Selama bertahun-tahun, kedua partai Amerika telah terbukti menjadi dua sisi dari mata uang yang sama," ujarnya.
"Jelas bahwa Zionis mengendalikan keputusan AS karena dominasi mereka atas pusat keuangan dan media."
Juma menyinggung kebijakan Trump saat menjadi presiden pada 2017, yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"Presiden saat ini Joe Biden melakukan hal yang jauh lebih buruk dengan membenarkan dan terus menerus menjustifikasi genosida," jelasnya.
"Masalah utama kami adalah dengan AS dan pendekatan rasis, superior, dan tidak manusiawinya terhadap perjuangan rakyat Palestina."
AS Terlibat Genosida di Gaza
Aktivis politik Palestina, Omar Assaf mengatakan rakyat Palestina tidak bergantung pada hasil pilpres AS.
“Saya yakin siapa pun yang melakukan hal ini adalah orang yang mengalami delusi, karena Amerika beroperasi melalui lembaga-lembaganya dan bias terhadap agresi Israel,” tambahnya.
Assaf menjelaskan, AS terlibat dalam genosida di Gaza melalui pesawat dan bom yang mereka kirimkan untuk Israel.
"Mereka bersaing untuk memberikan dukungan terbesar terhadap pendudukan, baik itu kandidat dari Partai Republik Trump atau saingannya dari Partai Demokrat, Harris. Mereka memandang proyek Zionis sebagai bagian dari kepentingan dan agenda mereka," jelasnya.
“Kita harus mengandalkan diri kita sendiri dan perlawanan kita, bukan pada pemilu AS. Mereka akan terus mendukung agresi Israel dan tidak akan ragu memberikan perlindungan politik untuk itu,” kata Assaf.
Buka Kedok AS
"Kami tidak menaruh harapan pada siapapun dari dua kandidat itu," kata seorang insinyur Palestina, Osama Abdel Karim.
Rakyat Palestina, sebutnya, tidak mengharap apapun dari hasil pilpres AS. Menurutnya seluruh pemerintah AS, baik Republik atau Demokrat, sama-sama mendukung Israel secara politik dan militer. Washington juga melindungi negara penjajah tersebut di berbagai forum internasional.
"AS adalah rekan utama dan kaki tangan dalam perang genosida di Gaza, dan sebelum itu di Tepi Barat, melalui dukungannya (AS) ke Israel untuk pembangunan permukiman, Yahudisasi Yerusalem, dan pencaplokan," jelasnya.
Genosida di Gaza juga membuka kedok AS sesungguhnya, kata seorang mahasiswa Palestina dari Betlehem, Obadah Muhaysen.
"Perang Israel di Gaza, didukung dan didanai AS, mengungkap wajah asli AS, yang mengklaim membela etika, demokrasi, dan HAM," ujarnya.
“Saya rasa tidak ada orang Palestina atau Arab yang mengharapkan sesuatu yang positif dari pemerintahan AS atau mengantisipasi perubahan apa pun dalam dukungan AS terhadap negara pendudukan tersebut,” pungkas Muhaysen.