Palestina Gagal Jadi Anggota Penuh PBB, Dijegal AS di Dewan Keamanan
melobi negara-negara lain untuk menolak resolusi Palestina
AS diduga melobi negara-negara lain untuk menolak resolusi Palestina.
Palestina Gagal Jadi Anggota Penuh PBB, Dijegal AS di Dewan Keamanan
Palestina gagal menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah Amerika Serikat menolak resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengizinkan Palestina diakui sebagai anggota penuh badan internasional tersebut dan secara efektif mengakui status kenegaraannya. AS memveto resolusi tersebut dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB di New York, Kamis, (18/4).
Walau mengalami ‘penolakan tegas’ dari AS, resolusi ini mendapat dukungan suara dari 12 negara, sementara Inggris dan Swiss memilih abstain atau tidak mendukung maupun menentang resolusi tersebut.
Ke-12 negara yang mendukung Palestina menjadi anggota penuh PBB adalah Rusia, China, Prancis, Jepang, Korea Selatan, Ekuador, Aljazair, Malta, Slovenia, Sierra Leone, Mozambik dan Guyana. Diperlukan setidaknya sembilan suara untuk resolusi tersebut dapat disahkan, jika tidak ada veto dari lima anggota tetap yaitu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan China.
“AS masih berpandangan bahwa jalan tercepat menuju status kenegaraan bagi rakyat Palestina hanya melalui negosiasi langsung antara Israel dan otoritas Palestina dengan dukungan Amerika Serikat dan mitra lainnya,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel, dikutip dari Middle East Eye, Jumat (19/4).
Saat ini, Palestina merupakan negara pengamat non-anggota PBB. Namun, untuk meraih status anggota penuh, negara ini perlu mengeluarkan resolusi di Dewan Keamanan yang harus dihadiri setidaknya dua pertiga anggota Majelis Umum.
Dasar permohonan keanggotaan penuh Palestina ke PBB terjadi karena perang dahsyat dan serangan terus-menerus oleh Israel di Gaza telah melumpuhkan negara tersebut. Pasukan Israel telah membunuh lebih dari 33.000 warga Palestina dan meratakan infrastruktur sipil di seluruh jalur Gaza.
Sekjen PBB, Antonio Guterres mengatakan perang yang sedang berlangsung di Gaza, serta peningkatan eskalasi antara Iran dan Israel menjadikan perdamaian dari dua negara sebagai solusi yang sangat penting untuk dilakukan. Asumsi ini diutarakan Guterres pada awal pertemuan DK PBB mengenai status keanggotaan Palestina.
“Eskalasi yang terjadi baru-baru ini menjadikan dukungan terhadap upaya itikad baik untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina yang Independen, layak dan berdaulat menjadi semakin penting,” ujarnya.
“Kegagalan membuat kemajuan menuju solusi dua negara hanya akan meningkatkan volatilitas dan risiko bagi ratusan juta orang di wilayah tersebut, dan akan terus hidup dibawah ancaman kekerasan,” sambungnya.
Dewan Keamanan PBB telah lama mendukung komitmen terhadap solusi dua negara dengan negara Israel dan Palestina.
“Saat Palestina memperjuangkan haknya untuk menjadi anggota PBB, badan internasional dilarang untuk memberikan tindakan balasan apapun yang dapat menghambat keberadaan negara Palestina,” kata perwakilan Afrika Selatan untuk PBB, Marthinus Van Schalkwyk, dalam pidatonya.
Pada Januari, Afrika Selatan menggugat Israel di Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida di Gaza.
“Afrika Selatan percaya bahwa rakyat Palestina harus diakui sepenuhnya oleh semua pihak dan harus mendapat dukungan terkait aspirasi menjadi anggota PBB untuk mendapatkan status negara merdeka," kata Van Schalkwyk.
Pemerintahan Biden secara terbuka mengatakan bahwa mereka juga menginginkan solusi dua negara terhadap konflik tersebut. Namun, laporan terbaru, dilansir dari The Intercept mengatakan bahwa kabel diplomatik dari AS menunjukan bahwa Washington sedang melobi negara-negara lain untuk menolak resolusi Palestina pada hari Kamis.