Gunung yang Dianggap Suci di Selandia Baru Resmi Diakui Sebagai Entitas Manusia, Ini Alasannya
Selandia Baru menetapkan undang-undang terkait gunung ini.

Selandia Baru kembali mencatatkan sejarah dengan memberikan pengakuan kepada Gunung Taranaki, yang kini dikenal sebagai Taranaki Maunga, sebagai entitas yang setara dengan manusia. Undang-undang yang disahkan pada Kamis lalu memberikan hak dan tanggung jawab kepada gunung ini, menandakan langkah signifikan dalam pengakuan terhadap masyarakat adat Mori dan warisan budaya mereka.
Gunung Taranaki, yang merupakan gunung berapi tidak aktif dengan ketinggian 2.518 meter di Pulau Utara Selandia Baru, dianggap sebagai leluhur oleh masyarakat Mori. Keputusan hukum ini merupakan bagian dari perjanjian pemulihan hak antara pemerintah dan suku-suku Mori di wilayah Taranaki, yang mengakui sejarah perampasan tanah yang terjadi sejak masa kolonialisasi.
Paul Goldsmith, anggota parlemen yang bertanggung jawab atas penyelesaian perjanjian antara pemerintah dan suku Maori, menyatakan pengakuan ini menghapuskan ketidakadilan yang dialami Gunung Taranaki di masa lalu.
"Gunung ini telah lama dihormati sebagai leluhur, sumber kehidupan, serta tempat peristirahatan terakhir bagi banyak orang Mori," ujarnya, seperti yang dilansir dari laman Independent, Senin (3/2).
Dengan status sebagai pribadi hukum, Taranaki Maunga kini memiliki hak dan tanggung jawab yang jelas. Undang-undang menetapkan bahwa entitas hukum bernama Te Khui Tupua akan bertindak sebagai perwakilan resmi untuk gunung ini, yang terdiri dari empat anggota suku Mori setempat dan empat anggota yang ditunjuk oleh Menteri Konservasi Selandia Baru.
Hak-hak hukum yang diberikan ini memungkinkan perlindungan terhadap gunung dari eksploitasi dan perubahan yang bisa merusak keseimbangan ekosistem. Selain itu, status hukum ini juga memastikan bahwa praktik adat Mori dapat dilestarikan, sementara akses publik tetap diperbolehkan dengan pengelolaan yang lebih berkelanjutan. Dengan demikian, pengakuan ini tidak hanya menguntungkan masyarakat Mori, tetapi juga berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan budaya yang kaya di Selandia Baru.
Perjuangan Melawan Kolonialisasi

RUU yang mengakui status hukum Gunung Taranaki telah disetujui secara bulat oleh 123 anggota parlemen Selandia Baru. Keputusan ini disambut dengan waiata, yaitu nyanyian tradisional Mori, yang dinyanyikan oleh masyarakat yang hadir di parlemen, menandakan betapa berarti momen ini bagi mereka. Pengakuan ini merupakan langkah signifikan dalam memperbaiki sejarah panjang ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Mori.
Pada 1865, pemerintah kolonial mengambil alih tanah di sekitar Gunung Taranaki sebagai bentuk hukuman terhadap perlawanan suku Mori terhadap kekuasaan Inggris. Selama bertahun-tahun, masyarakat adat kehilangan hak untuk mengelola gunung yang mereka anggap suci, sementara aktivitas pariwisata dan kegiatan lainnya terus berkembang tanpa keterlibatan mereka.
Namun, sejak tahun 1970-an, gerakan protes Mori mulai muncul untuk menuntut pengakuan yang lebih besar terhadap hak-hak mereka. Perubahan hukum ini juga menjadi bagian dari tren global yang lebih luas dalam mengakui hak-hak masyarakat adat dan perlindungan terhadap alam. Dengan adanya pengakuan ini, diharapkan masyarakat Mori dapat kembali terlibat dalam pengelolaan Gunung Taranaki serta mendapatkan keadilan yang telah lama mereka perjuangkan.
Meskipun pengakuan ini merupakan langkah signifikan dalam menghormati hak-hak masyarakat Mori, masih terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapi. Kontroversi mengenai perubahan hukum yang berkaitan dengan Treaty of Waitangi, perjanjian dasar antara pemerintah Inggris dan suku Mori, terus menjadi perdebatan yang hangat di Selandia Baru.
Selandia Baru telah menjadi pelopor dalam memberikan status hukum kepada elemen-elemen alam. Sebelumnya, pada tahun 2014, hutan Te Urewera diakui sebagai entitas hukum, diikuti oleh pengakuan terhadap Sungai Whanganui pada tahun 2017. Pengakuan ini tidak hanya berdampak di dalam negeri, tetapi juga memberikan inspirasi kepada negara lain untuk mempertimbangkan perlindungan hukum terhadap lingkungan. Dengan meningkatnya kesadaran akan isu perubahan iklim dan konservasi, pendekatan ini berpotensi menjadi model bagi negara lain dalam menjaga keseimbangan ekosistem serta menghormati hak-hak masyarakat adat.