Mati Pelan-Pelan, Nestapa Warga Gaza Tinggal Bersama Sampah dan Tikus di Pengungsian
Mati Pelan-Pelan, Nestapa Warga Gaza Tinggal Bersama Sampah dan Tikus di Pengungsian
Warga Gaza Terpaksa hidup di tengah-tengah gundukan sampah.
-
Di mana warga Palestina mengungsi? Rafah dipenuhi lebih dari 1 juta warga Palestina yang mengungsi dari berbagai daerah lain di Gaza.
-
Dimana warga Gaza Palestina diperintahkan untuk mengungsi? Penduduk Palestina diperintah untuk melarikan diri lebih jauh ke selatan menuju Jalur Gaza, sebuah wilayah pesisir yang sempit.
-
Dimana warga Gaza menjarah truk bantuan? Sumber: Al Jazeera Beberapa truk bantuan dikepung oleh puluhan orang setelah melintasi penyeberangan Rafah.
-
Bagaimana Israel membuat orang Gaza kelaparan? Masyarakat Palang Merah Palestina (PRCS) berulang kali memperingatkan kondisi kemanusiaan yang semakin menurun di wilayah tersebut, akibat Israel menutup perbatasan dan melarang masuknya bantuan ke Gaza.
-
Apa yang terjadi di Gaza? Genosida masih terus terjadi di Gaza, Palestina.
Mati Pelan-Pelan, Nestapa Warga Gaza Tinggal Bersama Sampah dan Tikus di Pengungsian
Di seantero Jalur Gaza, di tengah pemandangan puing-puing reruntuhan bangunan akibat perang, gunungan sampah yang berbau busuk menimbulkan bahaya besar bagi kesehatan dan lingkungan.
"Kami tidak pernah tinggal di samping sampah sebelumnya," kata Asmahan al-Masri, perempuan pengungsi yang berasal dari Beit Hanoun di utara. Rumahnya kini menjadi daerah terlantar di Khan Younis.
"Saya menangis seperti halnya nenek-nenek lain yang menangis karena cucunya sakit dan menderita kudis. Ini seperti mati pelan-pelan. Tidak ada martabat."
Dalam delapan bulan, lebih dari 330.400 ton limbah padat diperkirakan telah menumpuk di wilayah Palestina,
kata PBB dan badan-badan kemanusiaan yang bekerja di bidang sanitasi.
Dikutip dari BBC, Rabu (19/6), Enam belas anggota keluarga Masri berbagi tenda di sebuah kamp dekat Universitas al-Aqsa dengan sekumpulan lalat dan terkadang ular. Anjing-anjing liar dapat berkeliaran di dekatnya. Semua penghuni mengeluhkan bau busuk yang terus-menerus.
"Baunya sangat mengganggu. Saya membiarkan pintu tenda saya terbuka agar saya bisa mendapatkan udara segar, tetapi tidak ada udara," kata Asmahan. "Hanya bau sampah."
Beberapa dari lebih dari satu juta orang yang baru-baru ini melarikan diri dari serangan militer Israel di Kota Rafah di bagian selatan, terpaksa tinggal di daerah terbuka yang telah diubah menjadi tempat pembuangan sampah sementara.
"Kami mencari tempat yang cocok di mana-mana, tapi kami terdiri dari 18 orang dengan anak-anak dan cucu-cucu kami, dan kami tidak dapat menemukan tempat lain di mana kami dapat tinggal bersama," ujar Ali Nasser, yang baru-baru ini pindah ke perkemahan Universitas al-Aqsa dari rumahnya di Rafah.
"Perjalanan ke sini menghabiskan biaya lebih dari 1.000 shekel (Rp4,4 juta) dan sekarang keuangan kami hancur. Kami tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan, sehingga kami terpaksa hidup dalam situasi yang mengerikan ini. Kami menderita muntah-muntah, diare, dan kulit yang selalu gatal."
Sebelum perang, blokade selama bertahun-tahun yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir terhadap Gaza, yang dikuasai Hamas, telah memberikan tekanan berat pada layanan dasar, seperti pembuangan limbah.
Pembatasan ketat atas apa yang dikatakan Israel sebagai alasan keamanan atas apa yang bisa masuk ke wilayah itu berarti tidak ada truk sampah yang memadai, kurangnya peralatan untuk menyortir dan mendaur ulang sampah rumah tangga, serta membuangnya dengan benar.
Sejak 7 Oktober, militer Israel telah memblokir akses ke daerah perbatasan, yang merupakan tempat di mana dua tempat pembuangan sampah utama Gaza berada.
Satu di Juhr al-Dik sebelumnya melayani wilayah utara, dan satu lagi di al-Fukhari, melayani wilayah tengah dan selatan.
"Kami melihat adanya krisis pengelolaan sampah di Gaza, dan krisis ini semakin memburuk dalam beberapa bulan
terakhir," ujar Sam Rose, direktur perencanaan badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA.
Rekaman media sosial yang dikumpulkan menunjukkan tempat pembuangan sampah sementara telah bertambah seiring dengan banyaknya orang yang mengungsi ke berbagai kota.
BBC Verify telah memastikan lokasi-lokasi ini di Kota Gaza, Khan Younis dan Rafah dari bulan Februari hingga Juni tahun ini.
Analisis satelit oleh BBC Verify sebelumnya menyoroti aspek lain dari masalah sanitasi, yang menunjukkan separuh dari tempat pengolahan air dan limbah di Gaza telah rusak atau hancur sejak Israel memulai aksi militernya terhadap Hamas.
"Anda melihat genangan besar lumpur berwarna abu-abu kecokelatan di sekitar tempat tinggal masyarakat karena mereka tidak punya pilihan lain, dan Anda juga melihat tumpukan sampah yang sangat banyak. Entah ini dibiarkan begitu saja di luar rumah warga atau di beberapa tempat, warga terpaksa pindah ke dekat tempat pembuangan sampah sementara yang telah didirikan," kata Rose.
"Orang-orang benar-benar hidup di antara sampah."
Kini, seiring dengan melonjaknya suhu udara di musim panas, ada peringatan baru dari badan-badan bantuan tentang bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh banyaknya sampah.
Namun, keputusasaan mendorong banyak warga Gaza untuk mengambil risiko ekstra: mengais-ngais untuk mendapatkan sesuatu untuk dimakan, digunakan, atau dijual.
"Kami sudah terbiasa dengan baunya. Setiap hari kami datang ke sini bersama-sama untuk mencari kardus dan benda-benda lain yang bisa kami bakar untuk membuat api," kata Mohammed, salah satu dari sekelompok anak laki-laki yang memunguti sampah di dekat Deir al-Balah.
Mazad Abu Mila, seorang pengungsi dari Beit Lahia, mengatakan ia sedang mencari besi tua yang bisa ia gunakan untuk membuat tungku.
"Kami meninggalkan semua uang kami, toko-toko kami, mobil kami, ternak kami, rumah kami. Semua ditinggalkan. Ini adalah hal yang paling berbahaya bagi kesehatan kami. Saya tidak akan pernah pergi ke tempat pembuangan sampah sebelumnya, tetapi sekarang, semua orang datang ke sini."