Nasib demokrasi Thailand dipertaruhkan lewat referendum junta
Merdeka.com - Hari ini, Minggu (7/8), Thailand menggelar referendum undang-undang dasar. Ini adalah amandemen ke-20 kalinya, sejak Kerajaan Siam membentuk pemerintahan demokratis pada 1932. Banyak pihak meyakini referendum ini akan menjadi pertaruhan masa depan demokrasi di Thailand.
Naskah amandemen ini sepenuhnya disusun oleh tim junta militer. Jika mayoritas rakyat Thailand setuju pada referendum, maka tentara akan berkuasa lebih lama di Negeri Gajah Putih itu, lalu menekan ruang gerak aktivis pro-demokrasi.
ABC Net melaporkan, Sabtu (6/8), ada 40 juta orang yang memilik hak pilih dalam referendum. Mereka akan mengikuti jajak pendapat di 94 ribu tempat pemungutan suara.
-
Apa tujuan warga demo? Dilansir dari akun Instagram @merapi_uncover, mereka mengadakan arak-arakan itu dengan tujuan 'Mberot Jalan Rusak' di sepanjang Jalan Godean.
-
Apa yang diminta oleh massa demo? Dalam aksinya, mereka mendesak DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan Revisi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
-
Apa tuntutan utama aksi demo? Reza Rahadian ikut turun ke jalan dan berorasi di depan gedung DPR RI untuk menolak RUU Pilkada dan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi.
-
Kenapa warga mengeroyok anggota TNI? Saat itu, warga yang sedang menikmati hiburan khas tersebut tiba-tiba ricuh dan membuat kondisi menjadi tidak kondusif.
-
Apa yang terjadi di Pemberontakan 8888? Aksi protes ini diikuti oleh ribuan mahasiswa, biksu, dan warga sipil yang menuntut perubahan demokratis, namun ditanggapi dengan kekerasan oleh pihak militer.
-
Kenapa Pemberontakan 8888 terjadi? Pemberontakan 8888 di Myanmar, yang dimulai pada 8 Agustus 1988, adalah salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah negara tersebut. Pemberontakan ini merupakan hasil dari ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim militer yang berkuasa, terutama terkait kondisi ekonomi yang memburuk dan kurangnya kebebasan politik.
Tentara berkuasa setelah menggulingkan pemerintahan PM Yingluck Shinawatra pada 2014. Militer mengklaim melakukan kudeta demi menghindarkan perang saudara serta menghentikan praktik korupsi keluarga Shinawatra. Beberapa pengamat politik meyakini kudeta militer digerakkan oleh kerajaan Thailand, mengingat keluarga Shinawatra terlalu populer di kalangan rakyat pedesaan.
Negara ini sudah berkali-kali mengalami kudeta. Tercatat 19 kali militer mencoba menumbangkan pemerintah sah di Thailand, baru 12 yang berhasil.
Inti referendum ini, rakyat Thailand diminta menjawab kertas berisi dua pertanyaan: 1) apakah anda setuju konstitusi Thailand diubah? serta 2) Apakah anda setuju bahwa merujuk rencana strategis nasional, parlemen yang terpilih berdasarkan konstitusi baru ini berhak memilih perdana menteri untuk lima tahun ke depan?
anak muda Thailand menolak referendum untungkan junta (c) 2016 Reuters
Jika beleid ini lolos, maka 250 anggota parlemen hasil pemilu 2017 akan diisi orang-orang pilihan tentara. Setelah lima tahun, militer berjanji mengembalikan sepenuhnya jatah 500 kursi di parlemen kepada politikus sipil. Pemerintahan sipil Thailand sekaligus diminta menaati rencana pembangunan nasional untuk 20 tahun ke depan yang dirumuskan oleh tentara.
Janji militer itu tak dipercaya oleh kelompok perlawanan warga. Rakchart Wong-Artichart adalah salah satu tokoh masyarakat yang menolak referendum. Pria asli Bangkok ini berkampanye dengan cara unik, sebab militer melarang ada pihak mendukung atau menolak referendum di tempat terbuka.
Rakchart membuat kaos bertuliskan "Aku cinta Jendera Prayuth" di bagian depan, sedangkan di belakang kaos terdapat tulisan "tapi bohong."
Prayuth Chan-ocha adalah petinggi junta yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri. "Dalam situasi seperti ini, lebih baik kami membuat kampanye bernuasa satir," kata Rakchart.
Lebih dari 100 orang ditangkap selama enam bulan terakhir atas tuduhan hendak menggagalkan referendum. Rata-rata yang dijebloskan ke penjara adalah aktivis mahasiswa. Junta mengancam rakyat agar tidak memprotes berlebihan referendum.
Muncul pengumuman polisi, siapa saja yang berkampanye atau menentang rancangan konstitusi baru, akan langsung dipenjara maksimal hingga 10 tahun. Jika tidak sepakat dengan RUU buatan tentara, maka masyarakat hanya boleh mengkritik dengan "kata-kata sopan...tanpa mendistorsi fakta."
Jenderal Prayuth Chan-ocha (c) haaretz.com
Walau tentara memaksa rakyat tidak melawan, survei beberapa lembaga menunjukkan kelompokro junta belum tentu menang dalam referendum hari ini. Universitas Bangkok mengatakan hanya 48,4 persen responden yang mendukung perubahan konstitusi. Situs prachamati bahkan mengklaim 85 persen responden siap menolak UU buatan tentara, seandainya tak ada represi.
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan o-cha menyatakan apapun hasil referendum tidak akan mempengaruhi pemerintah. Dia enggan mundur seandainya rakyat ternyata menolak rancangan UUD baru seperti ditawarkan oleh junta.
"Saya bertugas menata ketertiban umum negara ini," ujarnya bulan lalu.
(mdk/ard)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berakhirnya pemberontakan 8888 bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga meninggalkan jejak kelam dalam sejarah Myanmar.
Baca SelengkapnyaKonstitusi Thailand pada 10 Desember 1932 menandai peralihan dari monarki absolut ke monarki konstitusional.
Baca SelengkapnyaReaksi polisi kabur diskak advokat karena debat keras soal halangi bantuan hukum untuk para demonstran yang ditangkap.
Baca SelengkapnyaDemonstrasi yang digelar di depan gedung DPRD Jatim itu mengepung dan meminta paksa agar anggota dewan mau keluar dan menemui massa aksi.
Baca SelengkapnyaDemonstrasi menolak pengesahan RUU Pilkada menjadi undang-undang oleh DPR, Kamis (22/08/2024) kemarin, sukses menarik perhatian dunia internasional.
Baca SelengkapnyaAksi ini diikuti oleh lebih kurang 2.000 orang yang terdiri dari mahasiswa hingga elemen masyarakat lainnya.
Baca SelengkapnyaSaid menegaskan, masyarakat harus bergerak turun ke jalan dan jangan kembali sebelum kedaulatan rakyat berhasil diambil kembali.
Baca SelengkapnyaRibuan orang dari berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menentang upaya revisi UU Pilkada, Jumat (23/8).
Baca SelengkapnyaAksi bertajuk "Jogja Memanggil" ini membawa sejumlah tuntutan di antaranya penolakan pada revisi RUU Pilkada.
Baca SelengkapnyaDalam aksinya massa menuntut untuk menolak hasil Pemilu 2024 yang dianggap penuh kecurangan.
Baca SelengkapnyaAksi massa yang menuntut DPR untuk mematuhi Putusan MK terkait pencalonan kepala daerah dan batas usia calon kepala daerah.
Baca Selengkapnya