Mengapa Seseorang Bisa Tega Melakukan Revenge Porn? Ini Kata Psikolog
Revenge porn tidak hanya dilakukan dengan foto, tapi juga bisa dilakukan dengan menyebar video pribadi atau tangkapan layar chat yang bersifat seksual.
Beberapa hari terakhir, viral thread di Twitter yang memperingatkan keberadaan grup telegram khusus konten-konten revenge porn. Grup tersebut menjadi wadah untuk memperjualbelikan atau barter konten eksplisit perempuan-perempuan muda. Grup tersebut juga menyertakan Google Form untuk mengisi akun media sosial dan sekolah perempuan yang ingin fotonya "dibugilin". Netizen langsung menyerukan agar grup-grup seperti ini segera di-report, karena aktivitasnya sudah masuk ke ranah revenge porn.Menurut Merriam Webster, revenge porn adalah gambar-gambar bernuansa seksual eksplisit seseorang yang diposting online tanpa persetujuan orang tersebut, terutama utuk balas dendam atau pelecehan.
Apa Itu Revenge Porn?
Menurut The First Amendment Encyclopedia, revenge pornography adalah istilah yang diberikan untuk praktik penyebaran gambar seseorang dalam keadaan telanjang atau berpartisipasi dalam tindakan seksual.
Dewasa ini, revenge porn tidak hanya dilakukan dengan foto.
Kejahatan ini juga bisa dilakukan dengan menyebar video pribadi atau tangkapan layar chat yang bersifat seksual.
Gambar dan video yang digunakan untuk revenge porn biasanya disebarluaskan bersama informasi pribadi dan akun media sosial korban revenge porn.
Menurut data tahun 2021 yang dirilis The Revenge Porn Helpline, 75% korban revenge porn adalah perempuan.
Persebaran foto atau video revenge porn biasanya diikuti cyberstalking dan pelecehan oleh pihak ketiga yang mengonsumsi konten tersebut melalui media sosial atau grup online.
Begitu gambar atau video pribadi korban tersebar, sulit untuk menghentikan peredarannya.
Sifat kejahatan revenge porn yang sulit dihentikan menjadi alasan utama korban merasa dipermalukan terus-menerus, putus asa, atau hidupnya berakhir.
Karena alasan yang sama, cukup banyak korban yang dikucilkan keluarga atau lingkungan di sekitarnya.
Korban revenge porn umumnya menunjukkan gejala yang mirip dengan pasien PTSD (Post-Traumatic Stress Syndrome).
Menurut hasil riset End Revenge Porn, sebanyak 51% korban revenge porn di Amerika Serikat terpikir untuk bunuh diri. Korban yang benar-benar melakukannya juga tak sedikit.
Sebuah fakta mengejutkan, ternyata banyak orang yang tidak keberatan dengan revenge porn. Menurut survei tahun 2017 yang dilakukan para peneliti di University of Kent, Inggris, 87% partisipan menunjukkan ketertarikan dan persetujuan terhadap revenge porn.
Menurut laporan dari Broadly, mereka mewawancarai seratus orang berusia 18 tahun ke atas. Hasilnya, 99% partisipan yang tidak menolak revenge porn tadi memaklumi jika penyebaran gambar dan video pribadi dilatari sakit hati akibat putus cinta.
Menurut psikolog klinis, Dr. David Ley dalam sebuah artikel untuk Psychology Today, salah satu alasan yang diberikan oleh pasien-pasiennya yang melakukan revenge porn adalah kurangnya kesadaran atas dampak revenge porn bagi korban.
Para pelaku tak sadar kalau sirkulasi konten di era media sosial bisa membuat sasaran revenge porn mengalami cyberstalking, pelecehan online oleh netizen, pengucilan hingga kehilangan pekerja.
Sejumlah pria yang melakukan revenge porn juga mengaku kalau mereka "marah kepada kaum perempuan" dan ingin menjatuhkan mereka. Menurut Dr. Ley, alasan ini cukup jarang ditemukan. Namun sebagian besar kasus yang diberitakan besar-besaran biasanya dilatari motif seperti ini.
Herannya, ada juga pria pelaku revenge porn yang berpikir kalau perempuan bakal lebih bergairah jika foto-foto bugilnya disebarluaskan oleh para pria. Dalam kasus ini, pelaku adalah jenis pria yang justru bangga jika foto pribadinya disebarkan dan dikonsumsi oleh sekelompok wanita.