Kondisi Sederhana Rumah Jenderal ini Bikin Terharu Anak Buah Saat Salat Jenazah
Ini kisah langka teladan kesederhanaan seorang jenderal. Anak buahnya jadi saksi selama menjabat, tak sekali pun dia menggunakan jabatannya untuk korupsi
Penulis: Arsya Muhammad
Jenderal RS Soekanto menjadi Kapolri dari tahun 1945 hingga 1959. Menjabat orang nomor satu di kepolisian selama 14 tahun tak membuat dirinya hidup mewah. Bahkan saat pensiun sang jenderal sempat tak punya rumah dan tinggal berpindah-pindah.
Salah satu rumah yang pernah ditempati RS
Soekanto dan istri ada di Jl Proklamasi, Jakarta Pusat. Mantan anak buah yang melihat rumah mantan Kapolri ini nyaris menangis sedih.
Jika hujan, rumah tua itu bocor di beberapa tempat. Pagar depan rumahnya rusak. Tak sesuai benar untuk mantan Kapolri. Namun pasangan suami istri tersebut tak mengeluh.
Hal ini dikisahkan Kombes (Purn) HA Koesnoro dalam tulisannya untuk buku biografi Jenderal Polisi R.S Soekanto Tjokrodiatmodjo: Bapak Kepolisian Negara RI dan Peletak Dasar Kepolisian.
Yang mengharukan, di tengah kekurangan tersebut Pak Soekanto juga selalu senang menyambut tamu yang datang. Siapa pun tak pernah dibedakan.
"Bila saya menghadapi ada pejabat polisi yang agak angkuh dan sombong, terus terang saya persilakan beliau datang menemui Bapak Soekanto di rumah beliau agar dapat melihat langsung keadaan Bapak Soekanto dengan rumah dan perabotan yang sangat sederhana tersebut," kata Koesnoro.
Menurut dia siapa pun yang masih memiliki nurani, pasti langsung berubah sikap melihat kehidupan mantan Kapolri dan istrinya yang sangat sederhana itu.
Tolak Manfaatkan Jabatan
Jika mau menggunakan jabatan sebagai kepala kepolisian, sangat banyak kesempatan bagi Jenderal Soekanto untuk korupsi. Tapi itu semua tidak dilakukannya.
Untuk urusan tanah dan rumah, Soekanto juga enggan menggunakan kekuasaannya sebagai Kapolri. Menurut Koesnoro, sebenarnya sah-sah saja jika bosnya menjadikan rumah dinas Kepala Kepolisan Negara di Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, menjadi miliknya.
Negara saat itu memberikan peluang untuk itu. Bahkan dengan cicilan ringan selama 20 tahun. Namun Soekanto enggan mengambil kesempatan itu. Dia menyerahkan rumah dinasnya kembali sebagai milik Polri.
“Saya lihat sendiri disposisi dari beliau. Tulisannya: Tetap untuk dinas,” kenang Koesnoro.
Saat ada penyerahan tanah eks perkebunan milik Belanda menjadi sejumlah kantor dan markas kepolisian, Soekanto sama sekali juga tidak meminta jatah kavling atau rumah. Padahal luas tanah yang saat itu diserahkan puluhan hektar.
Setelah pensiun, dia tinggal berpindah-pindah, hingga akhirnya menempati sebuah rumah di Komplek Polri Ragunan, Ampera, Jakarta Selatan.
Saat meninggal tahun 1993, sesuai pesan RS Soekanto, dia menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Dia meminta dimakamkan satu lubang dengan istrinya di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Para pelayat dan mantan anak buah berdatangan ke rumah Jenderal Soekanto. Salah satunya adalah Senior Superintendant (Purn) HHM Wahyudi. Saat hendak menyalatkan jenazah Soekanto, Wahyudi sempat merasa terharu.
“Kesederhanaan almarhum terlihat dari keadaan rumahnya yang sngat sederhana. Menunjukkan sifat kejujuran serta keteguhan pendirian almarhum,” kenang perwira menengah Polri ini.