Nasib Soekarno Setelah Lengser hingga Meninggal Dunia
Hidup Soekarno semakin parah usai dilengserkan dari kursi presiden.
Pada tahun 1963, melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS, Presiden Soekarno diberi gelar presiden seumur hidup. Namun, hanya berselang empat tahun, MPRS mencabut status tersebut, yang menandai akhir kepemimpinannya.
Kejatuhan Soekarno tidak terlepas dari buntut peristiwa G30S pada tahun 1965, yang menyebabkan kematian sejumlah Jenderal TNI Angkatan Darat. Setelah peristiwa G30S terjadi, narasi yang langsung berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang utama di balik kejadian tersebut.
Setelah insiden G30S, Soekarno menyatakan, PKI secara keseluruhan tidak bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Melainkan hanya beberapa anggota yang bertindak di luar kendali. Namun, pernyataan ini tidak memuaskan masyarakat.
Tuntutan yang awalnya hanya meminta pembubaran PKI berubah menjadi desakan agar Soekarno mundur dari jabatannya sebagai presiden. Dan puncaknya terjadi pada 11 Maret 1966, ketika ribuan mahasiswa melakukan demonstrasi besar di depan Istana Negara, didukung oleh sejumlah anggota militer.
Letnan Jenderal Soeharto, yang menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, kemudian meminta Soekarno memberikan surat perintah untuk menangani konflik dengan jaminan kepercayaan.
Soekarno akhirnya menandatangani surat perintah pada 11 Maret 1966 di Istana Bogor, yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar.
Supersemar
Supersemar memberi kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan demi menjaga stabilitas pemerintahan. Namun, Supersemar justru melemahkan kekuasaan Soekarno sebagai presiden, sementara Soeharto semakin memperkuat posisinya dan menggunakan surat itu untuk mengambil alih kekuasaan.
Di bawah pimpinan Jenderal Abdul Haris Nasution, MPRS mengadakan sidang dari 20 Juni hingga 5 Juli 1966 untuk mendengarkan pertanggungjawaban Soekarno terkait krisis nasional tahun 1965-1966.
Pada 21 Juni 1966, MPRS menetapkan Supersemar menjadi Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, sehingga presiden tidak bisa mencabutnya. Sehari kemudian, Soekarno menyampaikan pidato berjudul ‘Nawaksara’ dalam Sidang Umum ke-IV MPRS pada 22 Juni 1966.
Namun, pidato Nawaksara ditolak oleh MPRS karena dianggap lebih berisi amanat daripada pertanggungjawaban, terutama mengenai peristiwa G30S, yang menjadi perhatian utama MPRS.
Sebagai respons atas penolakan ini, Soekarno mengajukan laporan tertulis pada 10 Januari 1967, yang dikenal sebagai Pelengkap Nawaksara (Pel-Nawaksara), namun laporan tersebut juga ditolak. Pada Sidang Istimewa MPRS pada 7 Maret 1967, MPRS secara resmi menolak pertanggungjawaban Soekarno.
Statusnya sebagai presiden seumur hidup dicabut, dan ia dilarang terlibat dalam kegiatan politik hingga pemilu. Setelah jabatannya dicabut, kesengsaraan Soekarno masih berlanjut yang di mana ia mendapat perlakuan yang tidak sesuai.
Semakin Sengsara
Asvi Warman Adam dalam bukunya, Bung Karno Di Bunuh Tiga Kali? menjelaskan bahwa setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan, perlakuan terhadap Soekarno tidak diketahui masyarakat karena pers tidak berani mengeksposnya.
Pada Agustus 1967, Soekarno meninggalkan Istana Negara. Setelah meninggalkan Istana Negara di Jakarta, Soekarno pindah ke Istana Bogor bersama istrinya, Hartini. Selama menetap di sana, ia berada di bawah pengawasan militer yang ketat, sehingga tidak diperbolehkan bepergian, baik ke luar kota maupun ke luar negeri.
Soekarno diperlakukan sebagai tahanan rumah.Pada Desember 1967, Soekarno dan istrinya diminta meninggalkan Istana Bogor dalam waktu singkat, sesuai surat yang dikirimkan oleh Pangdam Jaya Mayor Jenderal Amir Machmud.
Ia kemudian dipindahkan ke peristirahatan Hing Puri Bima Sakti di Jalan Batutulis, Bogor.Rachmawati Sukarnoputri, putri Soekarno, menemui langsung Presiden Soeharto di kediamannya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, meminta agar Soekarno dipindahkan ke Jakarta.Akhirnya, pada awal tahun 1969, Soekarno dipindahkan ke Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala) di Jalan Gatot Subroto dengan pengawasan militer yang ketat.
Soekarno juga masih menjalani pemeriksaan oleh Kopkamtib terkait peristiwa G30S. Setelah kondisi kesehatannya semakin memburuk, barulah Soeharto memerintahkan agar interogasi tersebut dihentikan.
Pada awal Juni 1970, keadaan Soekarno semakin parah dan ia dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Sayangnya Soekarno tidak mendapat perawatan yang maksimal.
“Tanggal 22 Mei 2006, bersama dr. Kartono Mohamad, saya berkunjung ke rumah Rachmawati di Jalan Jatipadang, Jakarta Selatan. Kepada kami diperlihatkan sejumlah dokumen menyangkut kesehatan Bung Karno. Ternyata, sembilan bundel catatan perawat yang dipunyai Rachmawati sama saja dengan yang dimiliki Kartono Mohamad. Bedanya, yang di tangan Rachmawati yang asli, sedangkan yang ada pada Kartono berupa fotokopi. Keduanya juga sama-sama catatan perawat, bukan catatan medis yang dibuat oleh dokter,” ujar Asvi Warman Adam dalam bukunya.
Dimana Catatan Medis Soekarno?
Dari sinilah muncul pertanyaan di mana catatan medis Bung Karno? atau malah tidak ada sama sekali dokter spesialis yang memeriksa Soekarno karena hanya ada dokter umum yang memeriksa Bung Karno.
Dr. Kartono Mohamad pernah mencoba melacak alamat perawat yang merawat Soekarno di RSPAD Gatot Subroto, namun tidak berhasil. Menurut Rachmawati, perawat tersebut bukan berasal dari rumah sakit, melainkan dari kalangan Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad).
Pada 21 Juni 1970, Soekarno meninggal di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, pada usia 69 tahun. Jenazahnya kemudian dibawa ke Wisma Yaso, di mana banyak orang datang untuk memberikan penghormatan terakhir.
Pada 24 Mei 1965, Soekarno sebenarnya pernah menulis surat wasiat yang menyatakan keinginannya untuk dimakamkan di bawah pohon rindang di Batutulis, Bogor.
Keluarganya berusaha memenuhi wasiat tersebut, tetapi Presiden Soeharto tidak mengizinkannya. Soeharto memutuskan agar Soekarno dimakamkan di samping makam ibunya di Blitar, Jawa Timur. Soekarno dimakamkan pada 22 Juni 1970.
Reporter: Yulisha Kirani